Sejumlah Tokoh Disebut dalam Eksepsi Budi Mulya
KATADATA ? Nama sejumlah tokoh disebut dalam pembacaan nota keberatan (eksepsi) mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya dalam kasus Bank Century. Penyebutan para ekonom tersebut terkait situasi krisis ekonomi yang terjadi pada akhir 2008 tersebut.
Dalam eksepsinya, Budi Mulya mengatakan situasi krisis pada saat itu yang yang mendorong pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penyertaan modal sementara kepada Bank Century. Namun jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menyinggung sedikit pun kondisi krisis saat itu.
Budi Mulya menyebutkan sejumlah fakta bahwa pada 2008 indeks harga saham (IHSG) turun drastis hingga lebih dari 50 persen dari 2.830 menjadi 1.155 poin pada 20 November 2008. Gejolak pasar modal ini berdampak pada kelangkaan dan kesulitan likuiditas. Keadaan ini menyebabkan pinjaman antarbank tidak berjalan, sehingga menimbulkan kepanikan di kalangan pelaku pasar dan kepercayaan antarpara pelaku pasar rendah.
?Hal itu mendorong pemilik modal mencari lokasi aman untuk berinvestasi. Banyak bank-bank umum mengalami krisis likuiditas karena maraknya pelarian dana ke luar negeri karena pada saat yang sama pemerintah tidak memiliki kebijakan blanket guarantee atau tabungan dijamin sepenuhnya,? kata Luhut Pangaribuan, pengaca Budi Mulya, saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (13/3).
Pengacara Budi Mulya mengutip pendapat Drajad Wibowo dalam suarakaryaonline.com pada 22 November 2008 yang dikutip dalam buku putih Kementerian Keuangan. Ekonom dan anggota DPR itu menyatakan, ?negara harus melakukan penyelamatan karena proses business to business tidak bisa direalisasikan. Mungkin juga karena penyelamatan secara bisnis maupun legal tidak layak.. kasus Bank Centuy ini dikhawatirkan menimbulkan kecemasan masyarakat menyangkut keamanan dana mereka di perbankan nasional. Karena itu, ujarnya, pemerintah makin urgent menerapkan penjaminan penuh terhadap simpanan masyarakat di perbankan.?
Menurut Luhut, Dradjad Wibowo menggambarkan bahwa situasi krisis dapat mengakibatkan bank menjadi gagal untuk memenuhi kewajibannya karena kesulitan likuiditas. Namun fakta tersebut tidak dimasukkan dalam dakwaan.
Hal yang sama disampaikan dalma Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Boediono, mantan Gubernur BI yang sekarang menjabat Wakil Presiden. Dalam BAP pada 23 November 2013 menyatakan pertimbangan adanya bank yang gagal dalam masa krisis akan memperburuk keadaan pada saat itu.
Eksepsi tersebut juga mengutip pernyataan ekonom Rizal Ramli yag dimuat dalam inilah.com pada 13 November 2008. Dia menyatakan, ?krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini baru tahap awal. Sebab masih akan ada lagi tahap-tahap yang lebih parah, jika pemerintah tidak tanggap dan sadar. Perekonomian di 2008 adalah tahun gelembung, karena banyak perusahaan yang berpusat di sektor finansial.?
Bahkan beberapa bulan sebelum kebijakan diambil BI, Bambang Soesatyo pernah memberikan peringatan di kompas.com pada 28 April 2008. Ketika itu dia mengatakan, ?saat krisis terjadi, BI dan pemerintah tidak akan memiliki cukup waktu untuk berdebat. Kebijakan mendasar harus diputuskan tidak dalam hitungan hari, namun dalam hitungan jam, bahkan menit. Terlambat sedikti saja bisa menghancurkan pasar keuangan.?
Menurut Luhut, ada konstatasi fakta notoir atau peristiwa yang diketahui umum dari ahli dan anggota DPR atas situasi abnormal pada 2008 itu. Tetapi hal itu tidak digambarkan dalam surat dakwaan yaitu suatu keadaan yang sangat darurat dalam bidang ekonomi dan perbankan, dan harus mendapatkan penanggulangan secara khusus dalam waktu yang cepat.
Fakta yang lain, untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) yaitu Perppu Nomor 2 Tahun 2008 tentang Amandemen UU BI, Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Amandemen UU Lembaga Penjamin Simpanan, dan Perppu No 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan.
Perppu tersebut ditetapkan presiden dalam ihwal kegentingan yang memaksa. Penerbitan Perppu secara ekspresis verbis merupakan pengakuan negara atas adanya kegentingan yang memaksa pada saat itu, yakni krisis ekonomi global yang dimulai dari Amerika, kemudian melanda Indonesia dan negara lain seperti Malaysia, Jepang, dan Australia.