Kisah Petugas Jenazah Korban Corona, Dapat Penolakan & Minim Fasilitas
Menjadi petugas pemulasaran di tengah pandemi virus corona Covid-19 bukanlah sesuatu yang mudah. Ada saja kesulitan yang harus mereka alami ketika harus memulasarakan jenazah yang meninggal akibat virus corona.
Salah satunya dialami okeh Muhammad Hanifurrohman, salah satu petugas pemulasaran jenazah yang bertugas di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ) Sukapura. Hanif bercerita, dirinya sempat mendapatkan penolakan dari pihak keluarga korban meninggal dunia akibat corona saat ingin memulasarakan jenazah.
Mereka, kata Hanif, menginginkan jenazah bisa dipulasarakan tanpa menggunakan protokol Covid-19. "Inginnya dibawa pulang dan tidak mau dengan protokol Covid-19," kata Hanif di Gedung BNPB, Jakarta, Jumat (12/6).
(Baca: Lapor Covid-19 Sebut 7.280 Orang Meninggal Dunia Terkait Corona)
Meski demikian, Hanif menilai pemulasaran jenazah tanpa protokol Covid-19 tersebut tak mungkin dilakukan lantaran bisa menularkan virus mematikan tersebut kepada orang lain. Alhasil, dia harus membujuk pihak keluarga agar mau memakamkan jenazah dengan protokol Covid-19.
"Senang sekali ketika keluarga jenazah itu menyetujui untuk dilaksanakan pemulasaran sesuai modul (protokol Covid-19)," kata Hanif.
Selain itu Hanif bercerita tentang pengalamanya ketika kehabisan kantong mayat ketika harus memulasarakan jenazah korban Covid-19. Alhasil, pihak RSIJ Sukapura sampai harus meminjam kantong mayat ke RS Islam Cempaka Putih, Jakarta.
Bukan hanya itu, Hanif mengaku pernah harus memulasarakan jenazah Covid-19 pada pukul 01.00 WIB. Ketika itu, dia sedang berada di rumah bersama keluarganya. Namun karena sudah menjadi kewajibannya dia akhirnya kembali ke kantor untuk memulasarakan jenazah yang terinfeksi corona.
"Ini panggilan jiwa yang mendorong kami tetap melaksanakan dengan sebaik mungkin. Karena sebagai seorang muslim, tidak boleh menolak jenazah ini," kata Hanif.
Selain itu, dia mengatakan pemulasaran jenazah dengan alat pelindung diri (APD) lengkap sebenarnya tidaklah nyaman lantaran ketat dan gerah saat digunakan. Dia juga tak bisa ke kamar kecil ketika sudah menggunakan atribut lengkap.
Namun Hanif menilai APD harus diguanakan dalam proses pemulasaran jenazah agar dirinya tidak ikut terpapar corona. "Jadi prosedur harus kita lakukan dengan baik," kata Hanif.
Lain Hanif, lain pula pengalaman yang dirasakan petugas pemulasaran di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Reza Ramdhoni. Menurut Reza, dia dan timnya tak banyak mendapatkan penolakan dari pihak keluarga korban corona saat ingin memulasarakan jenazah.
Ini lantaran pihak keluarga biasanya langsung diurus oleh manajemen RSD Wisma Atlet. "Jadi agak leluasa dan tenang untuk mengurus jenazahnya," kata Reza.
Walau demikian, tidak berarti proses pemulasaran jenazah di RSD Wisma Atlet jadi lebih mudah. Reza mengatakan, salah satu kesulitan yang dialaminya adalah ketiadaan ruang pemulasaran jenazah.
Hal tersebut karena RSD Wisma Atlet merupakan apartemen yang dimodifikasi sebagai rumah sakit. "Jadi bukan secara full fasilitas kesehatan yang dimiliki rumah sakit, termasuk di dalamnya ruang pemulasaran jenazah," kata Reza.
Karena ketiadaan fasilitas kesehatan tersebut, Reza dan timnya sempat memulasarakan jenazah di ruang karantina lantai 9 RSD Wisma Atlet. Menurutnya, proses pemulasaran tidak banyak memanipulasi pergerakan mayat.
Jenazah lalu dibungkus dengan plastik dan kantong mayat derta disemprotkan dengan disinfektan. "Itu kami bawa dengan kantong melalui lift," kata Reza.
(Baca: Salip Jakarta, Jatim Catat Angka Kematian Tertinggi Akibat Corona)