Jaksa Pinangki Terjerat Tiga Dakwaan Terkait Joko Tjandra
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung menjerat Pinangki Sirna Malasari dengan tiga dakwaan dalam kasus Joko Tjandra. Tiga dakwaan yang menjerat Pinangki yakni gratifikasi sebesar US$ 500 ribu atau sekitar Rp 7,4 miliar, tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan pemufakatan jahat.
Jaksa mendakwa Pinangki menerima suap sebesar US$ 500 ribu dolar bagian dari US$ 1 juta dari pengusaha Joko Tjandra. Uang sebagai imbalan mengurus fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung, sehingga Joko Tjandra bebas dari vonis pidana penjara dua tahun bila kembali ke Indonesia.
Jaksa juga mendakwa pemufakatan jahat terkait dengan rencana pengurusan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung. "Terdakwa Pinangki Sirna Malasari telah melakukan pemufakatan jahat dengan Andi Irfan Jaya dan Joko Soegiarto Tjandra untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar US$ 10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung," kata jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung KMS Roni di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (23/9) dikutip dari Antara.
Ketika menerima uang itu, Pinangki menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung.
Awalnya, Pinangki bertemu dengan Rahmat dan Anita Dewi Kolopaking pada September 2019 di hotel Grand Mahakam Jakarta. Pinangki meminta Rahmat dapat dikenalkan dengan Joko Tjandra yang berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO), Rahmat lalu menyanggupinya.
"Rahmat menghubungi Joko Soegiarto Tjandra dengan menyampaikan bahwa terdakwa ingin berkenalan dengan Joko Tjandra dan disanggupi setelah melihat data dan foto terdakwa sedang berseragam Kejaksaan," kata jaksa Roni.
Sekitar Oktober 2019, Pinangki menyampaikan kepada Anita Kolopaking bahwa akan ada surat permintaan fatwa ke MA soal Peninjauan Kembali Joko Tjandra. Karena Anita merasa punya banyak teman di MA dan biasa berdiskusi hukum dengan para hakim di MA, maka Anita berencana menanyakan hal tersebut ke temannya, seorang hakim di MA.
Pinangki dan Rahmat lalu bertemu dengan Joko Tjandra pada 12 November 2019 di The Exchange 106 Kuala Lumpur, Malaysia. Saat itu Joko Tjandra memberikan kartu nama dengan nama "JO Chan" yang merupakan nama Joko Soegiarto Tjandra, selanjutnya Pinangki memperkenalkan diri sebagai jaksa sekaligus orang yang mampu mengurus PK Joko Tjandra.
"Terdakwa mengatakan akan mengurus upaya hukum Joko Tjandra tapi meminta agar Joko Tjandra menjalani pidana lebih dulu kemudian terdakwa akan mengurus upaya hukum tersebut. Joko Tjandra tidak langsung percaya karena merasa telah banyak pengacara hebat dicoba tapi tidak bisa memasukkan kembali Tjandra ke Indonesia," ujar jaksa.
Joko lalu memberikan beberapa dokumen kepada Pinangki serta membahas rencana mendapatkan fatwa MA melalui Kejagung untuk mengembalikan Joko Tjandra ke Indonesia melalui putusan Mahkamah Konstitusi No 33/PUU-XIV/2016 yaitu argumentasi PK Joko Tjandra tidak bisa dieksekusi karena yang berhak mengajukan PK hanya terpidana atau keluarga.
"Karena terdakwa adalah jaksa, Joko Tjandra tidak bersedia bertransaksi dengan terdakwa, sehingga terdakwa menyanggupi akan menghadirkan pihak swasta yaitu Andi Irfan Jaya yang bertransaksi dengan Joko Tjandra dengan urusan pengurusan fatwa ke MA," ungkap jaksa.
Setelah dua jam bertemu, Rahmat dan Pinangki lalu diantar langsung Joko Tjandra ke bandara Kuala Lumpur International Airport untuk kembali ke Singapura.
Pada 19 November 2019, Pinangki kembali mengajak Rahmat dan kali ini bersama dengan Anita Kolopaking bertemu Joko Tjandra di Kuala Lumpur. Anita diperkenalkan sebagai advokat, Anita pun menyampaikan dokumen berisi surat kuasa dan surat penawaran jasa bantuan hukum.
Anita Kolopaking meminta US$ 200 ribu sebagai "success fee" kemudian Joko Tjandra menyetujui dan menandatangani dokumen tersebut.
Pinangki juga menyarankan Joko Tjandra harus kembali ke Indonesia dan ditahan Kejagung lalu Pinangki akan mengurus masalah hukumnya.
Untuk melancarkan rencana itu, Joko meminta Pinangki untuk membuat "action plan" dan surat ke Kejagung menanyakan status hukum Joko Tjandra.
"Terdakwa akan mengajukan 'action plan' yang isinya menawarkan rencana tindakan dan biaya mengurus fatwa MA itu dengan biaya sebesar 100 juta dolar AS, namun saat itu Joko Tjandra hanya menyetujui dan menjanjikan sebesar 10 juta dolar AS yang akan dimasukkan dalam 'action plan'," kata jaksa.
Pada 25 November 2019, Pinangki, Anita dan politisi NasDem Andi Irfan bertemu Joko Tjandra di kantornya di The Exchange 106 Kuala Lumpur. Dalam pertemuan itu, Pinangki menyerahkan "action plan" yang terdiri dari 10 tahap dan melibatkan nama Jaksa Agung dan Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali.
Sebagai realisasi janji, maka pada 26 November 2019, adik ipar Joko Tjandra Herriyadi Angga Kusuma (almarhum) memberikan uang US$ 500 ribu kepada Andi Irfan Jaya di sekitar mall Senayan City.
Sebelumnya Pinangki telah meminta Anita membuat akta kuasa jual dengan Andi Irfan sebagai penerima kuasa menjual aset Joko Tjandra yang akan dijadikan jaminan bila kesepakatan pembayaran US$ 10 juta dan uang muka yang dijanjikan tidak dibayar.
Pinangki lalu memberikan uang dari Joko itu sebesar US$ 50 ribu atau sekitar Rp 740 juta kepada Anita Kolopaking dengan mengatakan bahwa Pinangki baru menerima US$ 150 ribu.
Kesepakatan 'action plan' yang dibuat Pinangki itu tak membuahkan hasil sehingga Joko Tjandra pada Desember 2019 membatalkan 'action plan' dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dengan tulisan tangan "NO". "Kecuali pada 'action' ke-7 dengan tulisan tangan 'bayar nomor 4,5' dan 'action' ke-9 dengan tulisan 'bayar 10 M' yaitu bonus kepada terdakwa bila Tjoko kembali ke Indonesia," kata jaksa.
Atas perbuatannya, Pinangki didakwa dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu mengenai bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dapat dipidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.