Varian Baru Covid-19 E484K Mengancam Keampuhan Vaksin
Varian baru Covid-19 yang bernama E484K atau Eek telah ditemukan di Indonesia. Pakar dan praktisi mulai mengkhawatirkan varian baru tersebut akan menurunkan efikasi vaksin yang telah ada.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio memperkirakan, varian tersebut bisa berdampak pada penurunan efikasi atau kemanjuran vaksin Covid-19. Sebab, varian tersebut diduga merupakan mutan sehingga virus bisa menghindari antibodi yang ada dalam tubuh.
Selain itu hasil laboratorium baru menunjukkan virus varian Eek bisa menular lebih cepat ke orang lain. "Dia bisa berikatan dengan reseptor ACE2, afinitas lebih tinggi tapi belum ada angkanya bisa menular berapa persen lebih cepat," kata Amin saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (9/4).
Saat ini Eijkman terus berupaya mendeteksi virus varian Eek tersebut, baik pada orang yang belum terinfeksi maupun reinfeksi. Mereka juga akan menguji bila ditemukan orang yang terinfeksi Covid-19 meskipun telah divaksinasi.
Selain itu lembaga tersebut menargetkan peningkatan uji whole genome sequencing sebanyak 5 ribu sequence pada akhir 2021. Adapun, saat ini Eijkman telah melakukan 990 sequence.
"Kementerian Riset dan Teknologi serta Kementerian Kesehatan juga bekerja sama untuk meningkatkan kapasitas whole genome sequencing nasional," ujar Amien.
Tak hanya Amien, epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman juga mengkhawatirkan, virus varian tersebut akan menurunkan efikasi vaksin. Apalagi riset telah dilakukan pada vaksin Covid-19 Johnson & Johnson, Novavax, dan AstraZeneca.
Ketiga vaksin tersebut mengalami penurunan efikasi saat diuji di Afrika Selatan, lokasi pertama ditemukannya E484K. Uji coba juga telah dilakukan pada vaksin Sinovac serta menunjukkan penurunan efikasi sebanyak 2,5-3,3 kali.
"Virus yang membawa mutasi ini bisa luput dari sistem imunitas manusia dan menurunkan efikasi vaksin," kata Dicky saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (9/4).
Selain itu, varian ini disebut mutasi lepas lantaran tidak bisa terdeteksi oleh antibodi manusia. Oleh karena itu, reinfeksi pada penyintas diperkirakan bisa terjadi karena antibodi tidak bisa mendeteksi mutasi tersebut.
Mutasi tersebut juga diperkirakan menurunkan efektivitas terapi antiodi monoklonal dan plasma konvalesen. "Ini bisa menurunkan efektivitas, walau tidak 100 persen tapi ini sinyal yang serius," ujar dia.
Dicky juga memperkirakan mutasi varian Eek telah menyebar di komunitas. Ini berbeda apabila mutasi yang ditemukan berada di pintu masuk bandara. "Kalau ditemukan di komunitas, artinya sudah menyebar. Bisa jadi 2-4 minggu sebelumnya sudah ada biangnya," katanya.
Untuk itu, ia menyarankan agar masyarakat menerapkan protokol kesehatan dengan skala yang lebih ketat. Misalnya, penggunaan masker dua lapis, menjaga jarak 2 meter, dan membatasi keramaian.
Sementara, pemerintah harus meningkatkan penelusuran, pengetesan, dan perawatan. Upaya ini harus dilakukan secara konsisten guna mencegah pandemi yang terus berkepanjangan.