Sejarah Kawasan Kota Tua dan Upaya Daendels Pindahkan Pusat Kota
Kawasan Kota Tua di pusat Jakarta memiliki sejarah panjang kolonialisme. Saksi bisu peninggalan ini terlihat dari bangunan-bangunan lama di dalamnya, seperti kompleks pergudangan dan reruntuhan tembok besar.
Kedua bangunan yang warna putihnya telah kusam itu kini tertutup oleh pohon dan tanaman rambat. Dahulu di sinilah lokasi Kasteel Batavia. Benteng yang berbentuk persegi ini memiliki dengan empat bastion atau selekoh di penjurunya.
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun benteng itu pada 1619. Fungsinya sebagai pertahanan kota baru, bernama Batavia. Kota inilah pusat perdagangan dan pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Nusantara.
Batavia ketika itu menjadi lokasi kedigdayaan VOC, persekutuan dagang asal Belanda. Coen membuatnya menjadi eksklusif, hanya pejabat tinggi kota yang boleh tinggal di dalamnya. Sedangkan penduduk lokal dilarang memasuki, apalagi bermukim di dalam tembok kota.
National Geographic menuliskan, kilau kota dalam benteng itu meredup sepeninggal Coen. Buruknya sanitasi, ledakan penduduk, wabah penyakit, serta banjir menjadi pemicu utama. Kota itu menjadi sesak dan tidak sehat pada abad ke-18.
Lalu, orang-orang kaya memutuskan untuk pindah ke selatan. Kawasan Jalan Gadjah Mada dan Lapangan Banteng menjadi tujuan mereka. Batavia yang disebut Koningin van het Oosten atau Ratu dari Timur berganti menjadi Graf der Hollanders alias kuburan orang Belanda.
Pemindahan Pusat Kota
Keadaan mulai berubah ketika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels berkuasa pada 1808 sampai 1811. Ia terkenal sebagai otak pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Saat menjabat, Daendels juga yang memindahkan pusat kota Batavia.
Ketika itu, ia melihat kondisi Ibu Kota sudah tidak sehat dan memprihatinkan. Daendels memerintahkan pemindahan pusat pemerintahan dan militer dari kawasan Kota Tua ke Kota Baru. Ibu kota Hindia Belanda pindah ke arah selatan menuju Weltevreden.
Melansir dari situs Jakarta Tourism, Weltevreden artinya adalah benar-benar puas. Cakupannya terdiri dari Gambir hingga Lapangan Banteng sekarang. Batas sebelah utara adalah Postweg dan Schoolweg (kini jalan Pos dan Jalan Dr. Sutomo di Pasar Baru), sebelah timur de Grote Zuidenweg (Gunung Sahari-Pasar Senen), dan selatan Kramat Raya sampai Parapatan.
“Ia memutuskan memindahkan pemukiman kota beberapa mil ke daerah pedalaman, yakni ke sebuah kota pinggiran yang disebut Weltevreden,” tulis BHM Vlekke dalam Nusantara: A History of Indonesia.
Weltevreden awalnya merupakan perkebunan kopi yang dimiliki oleh Cornelis Chastelein. Banyak pejabat pemerintah dan orang-orang kaya yang eksodus dari Kota Tua dan memilih menetap di sana. Tak lama kemudian di Weltevreden muncul pemukiman baru seperti Tanah Abang, Gondangdia, Meester Cornelis, dan Menteng.
Istana Daendels
Setelah memindahkan ibu kota, Daendels menetapkan lokasi pembangunan rumah besar (Groote Huis) atau Istana Putih (Het Witte Huis) di Lapangan Banteng. Istana ini dirancang oleh Kolonel JC Schultze dan bahan bangunannya diambil dari reruntuhan Benteng Batavia.
Istana ini awalnya akan dijadikan Daendels sebagai bangunan megah dan pusat pemerintahan barunya. Belum selesai Istana Putih dibangun, pada 1811 Daendels ditarik kembali ke Prancis oleh kaisarnya ketika itu, Napoleon Bonaparte.
Baru setelah LPJ du Bus de Signies menjabat Gubernur Jenderal pada 1826, pembangunan berjalan kembali. Du Bus meminta Insinyur Tromp menjadi arsiteknya dan rampung pada 1828.
Papan bertulis MDCCCIX-Condidit Daendels, MDCCCXXVIII-Erexit Du Bus dipasang di samping tangga untuk menandakan waktu pembangunan. Bangunan ini kini menjadi kantor Kementerian Keuangan dan bernama Gedung AA Maramis.
Penyumbang bahan: Dhia Al Fajr (magang)