Ahli Sebut Obat Covid-19 Belum Ada yang Definitif Saat Ini
Obat untuk menyembuhkan pasien Covid-19 belum ada yang definitif karena penyebaran virus ini masih terhitung baru.
Menurut Ahli Pulmonologi dan Respirasi RSUP Persahabatan Erlina Burhan, bahkan obat untuk pasien Covid-19 mengalami perubahan indikasi dari ketentuan sebelumnya. Kerja sama antara industri farmasi, institusi penelitian dan regulator seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berperan penting untuk mempercepat proses penemuan obat.
"Memang ini penyakit baru. Obat-obatan belum ada yang definitif sehingga perkembangan yang sangat cepat semua ingin menemukan obat-obat baru," ujar Erlina dalam diskusi daring pada Rabu (27/10).
Kerja sama tersebut dapat mempercepat proses dengan menggunakan desain penelitian yang disebut platform trial berupa multi arm dan multi stage. Tata cara ini memungkinkan agar saat dalam proses uji klinis untuk obat Covid-19 yang dinilai tidak bermanfaat dapat langsung diturunkan dan diganti obat lain.
"Sehingga penelitian sangat efisien karena memungkinkan meneliti obat secara bersamaan," kata Erlina.
Perubahan Covid-19 yang cepat menyebabkan terjadinya beberapa kali revisi dalam proses uji klinis. Selain itu ilmu pengetahuan yang terbatas pada saat munculnya pandemi juga menjadi kendala tersendiri.
Erlina menyatakan, single trial dengan meta analysis memberikan hasil tertinggi dalam proses penelitian sehingga menjadi lebih mudah untuk diterima publik. Keputusan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin sudah berubah untuk uji klinis terbaru dalam tingkat nasional.
Revisi mengenai panduan untuk percobaan klinis selalu dilakukan oleh organisasi dan saat ini sudah masuk revisi keempat. "Memang ini yang membuat kenapa berubah-ubah. Bukan hanya guideline berubah-ubah, tapi praktis klinis berubah karena perkembangan," jelas Erlina.
Sebelumnya BPOM telah mengeluarkan izin penggunaan darurat delapan obat untuk perawatan Covid-19 pada Juli lalu.
Delapan obat terapi Covid-19 yang diberikan izin penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) tersebut adalah Remdesivir, Favipiravir, Oseltamivir, Immunoglobulin, Ivermectin, Tocilizumab, Azithromycin, dan Dexamethasone. Obat-obatan tersebut boleh diedarkan oleh apotek, puskesmas, rumah sakit, klinik, kantor kesehatan pelabuhan, dan fasilitas distribusi obat.
Menkes Budi juga telah menetapkan harga eceran tertinggi atau HET obat terapi virus corona demi mengatur harga obat di pasaran dan tidak merugikan masyarakat. Hal ini karena ada beberapa pelaku usaha yang memanfaatkan situasi dengan menaikan harga jual obat kepada masyarakat.
“Harga eceran tertinggi ini merupakan harga jual tetinggi obat di apotek, instalasi farmasi, rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan yang berlaku di seluruh Indonesia,” ujar Budi pada 10 Juli 2021.
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan