Kemenkes: Pengusaha Protes Tarif PCR Rendah sebab Telanjur Stok Reagan
Sejumlah pengusaha dan laboratorium mengeluhkan tarif tes Polymerase Chain Reaction (PCR) yang terlalu rendah. Pasalnya, para pengusaha layanan PCR mengaku telah membeli reagen yang mahal dalam stok banyak.
Sebagaimana diketahui, ada sejumlah komponen dalam penetapan harga tes PCR. Komponen harga terbesar pada tes PCR berasal dari reagen.
"Kok teman-teman mengeluh harga terlalu murah dibanding modal mereka? Ini karena mereka terlanjur mengambil reagen yang terlalu mahal," kata Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Abdul Kadir dalam webinar, Selasa (16/11).
Menurutnya, pengusaha yang protes mengaku sudah terlanjur membeli reagen dalam jumlah banyak. Kemudian, stok reagen tersebut masih disimpan hingga akhirnya pemerintah menurunkan harga tes PCR.
Padahal, Abdul menemukan layanan tes PCR dengan tarif di bawah Rp 200 ribu. Layanan tersebut digelar oleh maskapai Lion Group yang bekerja sama dengan salah satu laboratorium dengan biaya Rp 195 ribu.
Hal tersebut menunjukkan ada potensi harga tes PCR di bawah Rp 200 ribu. "Tidak akan mungkn mereka mau pasang harga di bawah Rp 200 ribu kalau mereka tidak untung. Itu untung," kata Abdul.
Ia telah berdiskusi dengan Lion untuk mengetahui alasan harga tes PCR dipatok murah. Lion mengaku tidak membeli mesin PCR karena melakukan Kerja Sama Operasi (KSO) dengan laboratorium.
Kemudian, mereka menggunakan reagen dengan harga di bawah Rp 90 ribu. Reagen tersebut sudah divalidasi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes).
Dengan demikian, modal pemeriksaan tes PCR mencapai Rp 150 ribu per tes. Selebihnya merupakan biaya margin atau keuntungan tes PCR.
"Itu margin-nya masih tinggi. Ini bukti nyata kok," ujar dia.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir sempat memaparkan struktur harga reagen tes PCR yang digunakan di laboratorium mereka.
Honesti mengatakan harga baru reagen tes PCR yang tengah diajukan dalam e-katalog sebesar Rp 81 ribu tanpa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara, harga terbaru dengan PPN sebesar Rp 89.100 serta harga publish tanpa PPN Rp 90 ribu.
Bila dirinci, komponen biaya terbesar reagen ialah biaya produksi dan bahan baku. "Biaya produksi dan bahan baku sebesar 55%," kata Honesti dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (9/11).
Selain itu, biaya operasional memiliki porsi sebesar 16%, sementara, biaya distribusi yang meliputi keuntungan distributor sebesar 14%. Selanjutnya, biaya royalti memiliki porsi 5% dan margin atau keuntungan 10%.
Di sisi lain, Ketua Komisi Tetap Bidang Kesehatan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Titi Rusdi mengatakan, ia belum bisa mendapatkan reagen dengan harga kurang dari Rp 90 ribu.
"Sampai saat ini belum dapat harga Rp 90 ribu walau sudah memohon sama vendor, sudah negosiasi," ujar dia.
Sebelumnya, Ketua Persatuan Dokter Spesialis Patologi Klinik Aryati khawatir penurunan harga tes PCR akan mengorbankan kualitas. Ia mencontohkan, reagen yang digunakan tidak menggunakan dosis penuh.
Aryati mengatakan, reagen yang berkualitas baik, harganya lebih mahal. "Ada beberapa merk bagus berkualitas. Namun dengan harga tes PCR 495 ribu pun, belum bisa (mendapatkan merk berkualitas)," ujar dia.