Polemik Penyuapan Dalam Vonis Kasus Rachel Vennya

Image title
15 Desember 2021, 18:39
Rachel Vennya
Instagram/@rachelvennya
Rachel Vennya

Rachel Vennya bersama dengan suaminya Salim Nauderer dan sang manajer Maulida Khairunnisa telah divonis 4 bulan di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, pasca kabur saat menjalani karantina dari RSDC Wisma Atlet.

Namun, hakim majelis dalam putusannya mengatakan para terpidana tidak perlu menjalani hukuman tersebut dengan syarat tertentu. Jika dalam masa percobaan 8 bulan terpidana melakukan tindak pidana, maka hakim bisa memberikan putusan lain. 

Selain soal hukuman yang tidak perlu dijalani, polemik kasus Rachel Vennya juga muncul setelah ia mengaku memberikan uang Rp 40 juta kepada pihak satgas. Uang itu diberikan melalui Ovelina Pratiwi yang merupakan pegawai honorer di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rachel mengatakan Ovelina meminta uang agar pihak Satgas dapat meloloskan Rachel dari karantina.

Namun, meskipun jelas-jelas memberikan sejumlah uang untuk memuluskan aksinya, polisi justru tidak menjerat Rachel dengan undang-undang terkait suap. Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat berdalih Ovelina yang menerima uang dari Rachel bukanlah pejabat penyelenggara negara ataupun Pegawai Negeri Sipil (PNS). Benarkah demikian?

Mantan Juru Bicara Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan meski status Ovelina Pratiwi bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Ovelina sejatinya dapat dijerat dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini karena seseorang yang menerima gaji, upah atau dengan nama sejenis dari keuangan negara sekalipun kontrak tetap dapat masuk kategori dalam Pasal tersebut.

Dalam beleid tersebut tertuang bahwa Pegawai Negeri meliputi pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian; pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

"Secara sederhana di putusan Hoge Raad (HR) tersebut menekankan pada keadaan apakah seseorang tersebut diangkat untuk melaksanakan sebagian tugas negara, dan bukan dikaitkan dengan kepangkatan. Bahkan putusan HR tahun 1925 menegaskan seorang swasta yg menjalankan sebagian tugas pemerintah daerah juga Pegawai Negeri," ujar Febri seperti dikutip dari akun twitter miliknya pada Rabu (15/12).

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan kemungkinan kepolisian tidak memadukan pasal suap dalam vonis Rachel karena yang diberi uang bukan pejabat yang berwenang di Bandara. Menurut Abdul penerima uang yang tidak memiliki jabatan menentukan hanya disebut sebagai pemberian saja.

"Apalagi hanya petugas protokol DPR yang tidak berkaitan dengan lalu lintas bandara," ujar Abdul kepada Katadata pada Rabu (15/12).

Berbeda pendapat, pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Muzakir mengatakan Ovelina dapat dijerat Pasal 55 atau 56 KUHP sementara Rachel dapat dijerat dengan Pasal 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam KUHP Pasal 55 (1) tertuang bahwa pelaku tindak pidana adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Pasal 55 (2) menyatakan bahwa terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Sementara pada Pasal 56 tertuang bahwa sebagai pembantu kejahatan mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.

Sementara untuk jeratan Rachel dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a berbunyi bahwa pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Sementara Pasal 5 ayat 1 huruf b pelaku merupakan orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Muzakir mengatakan konstruksi hukum Rachel bergantung pada situasi yang terjadi apakah dia yang menawari suap atau sebagai pihak yang sepakat untuk menawarkan suap tersebut. Kalau Rachel setuju memberi suap aktif supaya membantu dikeluarkan dari karantina dengan membayar sekian uang maka dia terlibat sebagai pemberi suap.

"Tapi kan idenya dari siapa? Idenya-idenya kalau ide dari Rachel jadi dia lah yang juga sebagai pelaku pemberi suap," ujar Muzakir.

Rachel sebelumnya diketahui kabur saat menjalani karantina dari RSDC Wisma Atlet. Berdasarkan hasil investigasi Kodam Jaya, Rachel dibantu petugas TNI berinisial FS untuk menghindari prosedur karatina usai kembali dari Amerika Serikat.

"Pada saat pendalaman kasus, ditemukan adanya dugaan tindakan nonprosedural oleh oknum anggota TNI Pengamanan Bandara Soekarno Hatta berinisial FS," kata Kepala Penerangan Kodam Jaya Kolonel Artileri Pertahanan Udara (Arh) Herwin BS di Jakarta, Jumat (15/10).

Kodam Jaya pun telah melakukan menonaktifkan FS sejak Kamis (14/10). Hal tersebut dilakukan demi memudahkan penyelidikan yang ditangani Polisi Militer.

Lebih lanjut, Kodam Jaya mengevaluasi seluruh tempat karantina untuk memastikan prosedur telah berjalan. Beberapa lokasi yang dievaluasi, antara lain Wisma Atlet, Bandara Soekarno Hatta, Rusun Pademangan, dan Rusun Nagrak.

"Pangdam (Jaya) akan membuat mekanisme yang lebih ketat," kata Kepala Penerangan Kodam Jaya Kolonel Artileri Pertahanan Udara (Arh) Herwin BS di Jakarta, Jumat (15/10).

Reporter: Nuhansa Mikrefin

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...