Kebakaran Depo Plumpang: Mencari Solusi dari Kesalahan Masa Lampau
Kebakaran di area Depo Pertamina Plumpang pada Jumat (3/3) disebut pakar terjadi karena kesalahan lama. Pasalnya, keberadaan permukiman di area penyangga atau 50 meter dari dinding depo merupakan kesalahan sejak 1990-an.
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Yoga mengatakan pemilihan pembangunan Depo Plumpang sebenarnya telah memperhitungkan tata letak di kawasan Rawa Badak pada 1974. Selain itu, pendirian depo tersebut telah mengacu pada Rencana Induk Tata Ruang DKI Jakarta dan Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005.
Di samping itu, lokasi Depo Plumpang telah mempertimbangkan agar lokasinya tidak berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Sebagai informasi, jarak Depo Plumpang dengan Pelabuhan Tanjung Priok adalah lima kilometer.
Akan tetapi, rencana tata ruang tersebut berantakan saat beberapa rumah pendukung operasi Depo Plumpang bermunculan pada 1990-an. Pembangunan perumahan terakselerasi pasca reformasi hingga bencana kebakaran pada 2009.
"Karena lalai, dalam waktu 20 tahun kemudian berkembang pesat tanpa ada pengendalian, di situ salahnya Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Tidak dikendalikan. Ini kesalahan beruntun yang dibiarkan," kata Nirwono kepada Katadata.co.id, Selasa (7/3).
Nirwono menceritakan pasca kebakaran 2009 warga Tanah Merah tidak melakukan relokasi mandiri. Para korban kebakaran akhirnya kembali ke rumahnya yang telah terbakar dan membangun kembali rumahnya dengan dana mandiri maupun dana bantuan.
Senada dengan Nirwana, Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota atau IAP Adhamaski Pangeran berpendapat kebakaran yang terjadi tahun ini menggambarkan tidak hadirnya negara di Tanah Merah.
"Tragedi Plumpang akibat pembiaran yang terjadi bertahun-tahun ini menyiratkan betul absennya perencanaan jangka panjang dan pengendalian tata ruang," kata Adhamaski dalam keterangan resmi, Jumat (10/3).
Pilihan Solusi
Sejauh ini ada dua pilihan solusi tata kota di Tanah Merah yakni relokasi Depo Plumpang dan relokasi masyarakat. Namun Adhamaski mengatakan kedua solusi tersebut merupakan satu kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dan harus dibarengi dengan penataan ulang pemukiman Tanah Merah.
Ia mengatakan penyelesaian tata ruang Tanah Merah tidak bisa rampung dengan solusi populis. Menurutnya, sengketa lahan di Tanah Merah harus dilihat secara historis untuk mendapatkan solusi terbaik.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 190/HGB/DA/76, Tanah Merah adalah tanah milik negara. Adapun, PT Pertamina telah mengantongi hak guna bangunan atau HGB daerah tersebut dengan luas 153 hektare.
Pertamina menggunakan 72 hektar wilayah tersebut untuk mendirikan Depo Plumpang. Saat ini, tanah yang belum dimanfaatkan Pertamina justru dihuni oleh masyarakat.
Adhamaski mendata area Tanah Merah dihuni 9.234 kepala keluarga atau sekitar 34.000 jiwa di atas lahan seluas 81 hektar. Dengan kata lain, satu orang tinggal di atas lahan seluas 23,8 meter persegi.
“Kampung Tanah Merah merupakan kawasan terpadat. Sayangnya, jalan yang ada juga sangat terbatas sehingga menyulitkan aksesibilitas pemadam kebakaran (damkar),” kata Adhamaski
Adhamaski menilai penataan Tanah Merah harus berprinsip reforma agraria. Menurutnya, seluruh warga Tanah Merah tetap memiliki hak bermukim dalam konstitusi.
Sedangkan Nirwono menilai pemerintah daerah harus mendapatkan kesepakatan warga terdampak kebakaran Depo Plumpang selambatnya tiga minggu setelah bencana kebakaram
Pasalnya, masyarakat di pengungsian umumnya hanya dapat bertahan paling lama 2 minggu sebelum kembali ke lokasi rumahnya untuk membangun kembali.
"Meskipun dia tahu itu bukan tanahnya. Orang yang tidak diberikan pilihan akan mengambil pilihan sendiri," ujar Nirwono.
Nirwono mendorong Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk memberikan tiga pilihan kepada warga Tanah Merah, yakni dana ganti-untung, memberikan uang kerohiman, atau relokasi ke rumah susun terdekat.
"Dengan demikian, jelas lokasi zona merah tadi bebas bangunan. Kalau tidak, kita akan mengulangi kesalahan yang sama, jadi momentum itu tidak bisa diabaikan," kata Nirwono.