Membaca 2 Sisi Putusan PN Jakpus, Skenario Tunda Pemilu Vs Nasib Prima
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur atau Prima menimbulkan polemik. Putusan itu menghukum Komisi Pemilihan Umum menghentikan tahapan pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari yang berdampak penundaan pemilu. Majelis Hakim juga menghukum KPU membayar ganti rugi senilai Rp 500 juta.
Dalam putusan setebal 100 halaman yang dibacakan majelis hakim yang dipimpin hakim T Oyong, Prima dinyatakan sebagai partai yang dirugikan atas verifikasi administrasi yang dilakukan oleh KPU. Komisi juga dinyatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum.
Putusan yang berdampak luas terhadap pelaksanaan pesta demokrasi yang telah dijadwalkan berlangsung pada 14 Februari 2024 itu mendapat perlawanan. KPU telah melayangkan memori banding yang disampaikan pada Jumat (10/3) lalu.
“Kami banding dan insya Allah pemilu tetap berjalan sesuai jadwal,” ujar Ketua KPU Hasyim Asyari sehari sebelum memori banding diserahkan ke pengadilan.
Pemerintah juga telah menyatakan dukungan penuh atas upaya banding yang dilakukan oleh KPU. Kantor Staf Kepresidenan (KSP) mengatakan pemerintah tetap mendukung pelaksanaan Pemilu mendatang sesuai jadwal yang telah diputuskan. Selain itu pemerintah juga telah menganggarkan dana untuk mendukung suksesnya pemilu.
"Presiden dalam berbagai kesempatan telah menekankan dukungannya untuk pelaksanaan Pemilu 2024 sesuai jadwal dan dilaksanakan secara konstitusional. Sampai dengan saat ini, pemerintah tetap berkomitmen mendukung pelaksanaan Pemilu 2024 sesuai jadwal," ujar Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani Jumat (3/3).
Sorotan pada Hakim
Putusan penundaan pemilu yang dibuat hakim mendapat respon keras dari berbagai pihak. Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli mengatakan secara keseluruhan putusan yang dibuat pengadilan tidak tepat karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.
Putusan itu juga disebut menyalahi Peraturan Mahkamah atau Perma No. 5 Tahun 2017 dan Perma No. 2 Tahun 2019. Kedua Perma mengatur tentang sengketa proses pemilu berada di Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN.
“Putusan itu harus batal demi hukum karena menyalahi konstitusi. Salah kamar,” kata Romli dalam diskusi Masa Depan Pemilu pasca Putusan PN Jakarta Pusat, Selasa (7/3).
Penundaan pemilu juga menjadi wacana yang ditolak publik. Berdasarkan survei yang dilakukan tiga lembaga, lebih dari 30 persen masyarakat menolak penundaan pemilu.
Peneliti BRIN lainnya. Aisah Putri Budiatri mengatakan, di luar aspek hukum yang dinilai bermasalah karena hakim melampaui kewenangannya. Hakim dinilai membuat putusan yang keliru dan menunjukkan ketidakpahaman pada materi yang disidangkan. .
"Hakim juga menunjukan ketidakpahamannya, atau berpura-pura tidak paham, pada konteks politik yang lebih luas," kata Aisah saat dihubungi, Jumat (10/3).
Ia mengatakan putusan tersebut memancing kegaduhan. Terlebih lagi isu penundaan pemilu telah lama dihembus kalangan tertentu.
"Hal ini kembali akan menguatkan adanya niat jahat dan inkonstitusional tersebut berlanjut dan memang ada upaya serius untuk itu," kata Aisyah.
Lebih jauh ia mengatakan putusan PN Jakarta Pusat menunjukkan upaya inkonstitusional yang disinggungnya itu melibatkan proses hukum tak hanya upaya politik semata. Ia menyayangkan putusan PN Jakarta Pusat tersebut karena menurutnya bermuatan kepentingan politik.
"Hal ini jelas mencoreng citra lembaga hukum," kata Aisah.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menilai hakim Pengadilan Negeri atau PN Jakarta Pusat yang memutuskan untuk menunda Pemilu 2024 layak dipecat. Menurut dia, hakim tidak profesional dan tidak mengerti hukum Pemilu.
"Serta tidak mampu membedakan urusan privat (perdata) dengan urusan urusan publik," kata Jimly mengomentari putusan pengadilan.
Dia mengatakan, Pengadilan Perdata harus membatasi diri hanya untuk masalah perdata saja. Sanksi perdata cukup dengan ganti rugi, bukan menunda Pemilu yang merupakan kewenangan konstitusional KPU.
KPU Tegaskan Amanat Undang-undang Menurut jimly, sengketa tentang proses Pemilu merupakan bukan kewenangan pengadilan perdata melainkan Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN. Sementara sengketa hasil pemilu merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Dugaan Digerakkan Pihak Tertentu
Senada dengan Aisah, Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia sekaligus Direktur Eksekutif Algoritma, Aditya Perdana mengatakan narasi penundaan pemilu sengaja dihembuskan pihak-pihak tertentu. Putusan PN Jakarta Pusat merupakan salah satu bentuk dari upaya memuluskan upaya penundaan pemilu dengan cara legal.
"Isu penundaan pemilu yang digerakkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab ini merasa ranah putusan yudikatif itu adalah cara yang cepat dan tepat agar bisa dilakukan," kata Adit saat dihubungi, Jumat (10/3).
Menurut Adit langkah hukum tersebut diambil untuk menghindari perdebatan keras yang bisa berakibat konflik bila menempuh jalan politik. Ia menyebut penundaan pemilu lewat jalur hukum bisa saja sengaja dirancang agar lebih mudah digolkan.
Ketua Umum Partai Prima Agus Jabo Priyono membantah partainya digerakkan oleh kelompok tertentu. Ia mengatakan tujuan utama partainya di balik gugatan ke Pengadilan Negeri adalah agar bisa menjadi peserta pemilu 2024. Ia menyebut upaya ke pengadilan diambil karena menemukan jalan buntu setelah gugatan mereka ditolak oleh Bawaslu dan juga PTUN.
“Kami mau gimana lagi, kami klarifikasi gimana lagi. Kami mau Peninjauan Kembali saja dipersulit. Banding ke Mahkamah Agung ya tidak bisa. Itu yang kami tidak mengerti ada apa,” ujar Agus Jabo dalam wawancara khusus dengan Katadata.co.id, Senin (6/3).
Agus Jabo menegaskan Partai Prima telah memenuhi seluruh kelengkapan administrasi untuk bisa menjadi peserta pemilu 2024. Ia membantah partainya menjadi bagian dari skenario penundaan pemilu. Sebagai buktinya, Agus Jabo menyebut partainya selama ini tak pernah menyuarakan presiden 3 periode atau hal lain berkaitan penundaan.
Profesionalisme KPU
Di luar polemik soal putusan penundaan pemilu, Lili menyebut hal penting lain dari putusan pengadilan telah menunjukkan adanya pembuktian atas tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU. Ia berpendapat, Partai Prima bisa saja mendapatkan kembali haknya sebagai peserta pemilu tanpa harus terjadinya penundaan.
Menurut Lili bukan tidak mungkin dari hasil banding nanti pengadilan tinggi mengabulkan sebagian gugatan Partai Prima yang bermuatan perdata. Putusan itu berkaitan dengan kerugian materil dan nonmaterial sebagaimana poin putusan kedua dan ketiga pengadilan yang menyatakan Partai Prima adalah peserta pemilu yang dirugikan dan kemudian KPU diminta membayar ganti rugi senilai Rp 500 juta.
“Putusan gugatan Partai Prima sudah menjelaskan dengan gamblang bahwa KPU tidak profesional,” ujar Lili.
Sama halnya dengan Lili, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem Titi Anggraini menilai peluang Partai Prima untuk menjadi peserta pemilu 2024 masih terbuka tanpa harus menunda pemilu. Ia mengatakan Partai Prima bisa mengajukan kembali gugatan ke PTUN dengan membawa putusan pengadilan sebagai bukti baru. Meski begitu ia mengingatkan putusan PTUN nantinya hanya akan menjawab keinginan Partai Prima untuk menjadi peserta pemilu dan tidak bisa memenuhi gugatan kerugian materil dan immateril sebagaimana diputus pengadilan.
“Menurut saya bisa dicoba, gugatan perbuatan melanggar hukum oleh badan/penyelenggara pemerintahan itu diajukan ke PTUN,” ujar Titi.
Selain itu, Titi menyarankan Partai Prima dapat membawa putusan pengadilan sebagai bukti baru adanya pelanggaran administratif dan tindakan tidak profesional serta tidak terbuka oleh KPU kepada Badan Pengawas Pemilu. Segala bukti yang muncul dalam persidangan dan putusan PN Jakpus bisa menjadi fakta baru untuk melapor ke Bawaslu. Pelanggaran administrasi dan pelanggaran tata cara pemilu telah diatur dalam pasal 460 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Saluran lain yang dapat digunakan Partai Prima menurut Titi adalah dengan menggunakan jalur pelaporan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP. KPU bisa diadukan atas dugaan tidak cermat, tidak profesional, dan tidak transparannya KPU dalam memperlakukan PRIMA saat verifikasi partai yang lalu yang dikuatkan dengan putusan pengadilan.
“Dalam konteks keadilan pemilu fakta yang terungkap di persidangan bisa diajukan sebagai bukti baru yang jadi dasar gugatan Partai Prima ke PTUN, Bawaslu dan DKPP,” ujar Titi.
Secara keseluruhan Titi melihat, di luar putusan melewati wewenang yang dibuat hakim, proses sidang yang bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menunjukkan perlunya pembenahan dari penyelenggaraan pemilu. Ia menyebut, gugatan yang diajukan oleh Partai Prima dapat terjadi lantaran masih ditemukannya ketidakprofesionalan KPU.
Titi menilai gugatan partai prima tidak akan terjadi bila KPU bisa merespon hasil putusan Badan Pengawas Pemilu untuk memberi kesempatan pada Partai Prima melakukan perbaikan saat tahapan verifikasi administrasi berjalan. Selain itu ia menyebut, putusan pengadilan bisa saja tidak terjadi bila KPU serius dalam menghadapi gugatan yang tengah diajukan Partai Prima di pengadilan.
Ia mencontohkan KPU seharusnya bisa menunjuk tim hukum yang kompeten untuk melawan gugatan Partai Prima di pengadilan. Apalagi pada 20 Januari 2023 PN Jakpus telah mengeluarkan Putusan Sela yang membantah eksepsi KPU soal kompetensi absolut PN Jakpus dalam menangani gugatan Partai Prima.
“Mestinya ada upaya luar biasa dari KPU untuk mengantisipasi Putusan Sela tersebut. Justru langkah KPU adalah tetap tidak mengajukan saksi/ahli,”ujar Titi.
Titi berharap ke depannya KPU lebih serius lagi dalam menghadapi upaya hukum yang dilakukan berbagai pihak. Ia meminta KPU mempersiapkan tim hukum yang solid, kuat, dalam menyiapkan materi banding serta jawaban KPU secara solid di persidangan.
“Putusan PN Jakpus ini menjadi evaluasi bagi KPU untuk tidak menyepelekan semua upaya hukum terhadap KPU, terlebih ketika terdapat sejumlah pihak yang masih terus mewacanakan penundaan pemilu,” ujar Titi lagi.