Bankir yang Melawan Pandemi dengan Data dan Riset
Tugas berat itu diterima Budi Gunadi Sadikin di pengujung 2020, tepatnya tanggal 23 Desember. Mantan Wakil Menteri BUMN itu ditunjuk Presiden Joko Widodo menggantikan Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan. Pergantian jabatan strategis ini dilakukan di tengah badai pandemi dengan semakin meningkatnya penularan virus Covid-19 di Indonesia.
Tugas yang diberikan Jokowi kala itu mahaberat: sarjana fisika nuklir lulusan Institut Teknologi Bandung ini harus memastikan program vaksinasi Covid-19 berjalan mulus kepada 180 juta penduduk Indonesia. Apalagi pada akhir 2020, vaksin pertama yakni CoronaVac bikinan Sinovac telah tiba dari Cina.
Namun belum juga memulai pekerjaannya, Budi disambut pesimisme publik. Sejumlah pihak meragukan kemampuannya karena latar belakangnya yang bukan dokter atau akademisi di bidang kesehatan. Ia adalah seorang bankir yang banyak menghabiskan kariernya di industri keuangan hingga menjadi Direktur Utama Bank Mandiri.
Sebenarnya Budi bukan pertama kali ini harus berhadapan langsung dengan penanganan pandemi. Saat menjadi Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ia terlibat langsung untuk pengadaan alat tes Polymerase Chain Reaction (PCR), obat, hingga alat kesehatan oleh BUMN farmasi.
Budi pun menjelaskan bahwa latar belakangnya bahkan tidak sesuai dengan kariernya selama ini. Namun hal tersebut tak menjadi halangan.
“At the end of the day kita tidak bekerja sendiri, tapi ada sistem. Di Kemenkes ada 48 ribu pegawai dan ada banyak dokter,” kata Budi dalam suatu wawancara khusus dengan Najwa Shihab, 7 Januari 2020.
Awal 2021, Budi memulai pekerjaan besar untuk menyuntikkan jutaan dosis kepada masyarakat. Awalnya, suntikan diberikan kepada tenaga kesehatan yang merupakan garda terdepan dalam menghadapi Covid-19.
Setelah itu, vaksin diberikan kepada masyarakat umum yang dimulai secara simbolik kepada Jokowi pada 13 Januari 2021. Tantangan berat yang dihadapi Budi adalah memastikan vaksin bisa menjangkau masyarakat hingga pelosok. Sedangkan setiap batch vaksin memiliki tanggal kedaluwarsa sehingga perlu didistribusikan secara cepat.
Ia juga menghadapi tantangan besar yakni keengganan masyarakat mengikuti vaksinasi. Dari sejumlah survei, beberapa alasan publik tak mau divaksinasi antara lain karena takut efek samping, tak percaya khasiatnya, merasa sehat, hingga faktor kehalalan. “Itu memang ternyata lebih kompleks daripada yang kami duga sebelumnya.”
Berbagai upaya dilakukan untuk memudahkan distribusi vaksin hingga meningkatkan partisipasi masyarakat, mulai dari melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan korporasi, personel TNI dan Polri hingga para tokoh agama.
Hasilnya, angka vaksinasi yang semula minim dan berjalan lambat, secara bertahap meningkat dan makin meluas. Hingga Mei 2021 alias sebelum Indonesia diamuk badia varian Delta, sebanyak 16,4 juta orang telah disuntuk vaksin dosis pertama dan 10,6 juta orang berstatus vaksinasi lengkap.
Di tengah usaha keras memacu vaksinasi, pandemi Covid-19 justru makin berkecamuk dengan kehadiran varian Delta di Indonesia, yakni puncak jumlah 56 ribu kasus baru dalam satu hari pada Juli 2021. Tingkat keparahan varian ini sangat tinggi yakni dengan angka kematian mencapai 2.069 orang pada 27 Juli 2021.
Pemerintah pun kembali memperketat aktivitas dan mobilitas masyarakat dengan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat di Jawa dan Bali. Program vaksinasi juga digenjot. “Sebanyak 50% vaksin kami alokasikan ke daerah PPKM,” kata Budi.
Badai pandemi sempat mereda, meski kemudian muncul varian baru Omicron yang mencapai puncaknya dengan 63 ribu orang pasien baru dalam satu hari pada 17 Februari 2022. Namun, sejalan dengan program vaksinasi yang semakin luas dan merata dan, badai tersebut tidak bertambah besar dan angka kasus terus melandai hingga akhir 2022.
Kini, jumlah kasus positif Covid-19 sangat kecil. Pemerintah mencabut status PPKM di seluruh Indonesia pada akhir tahun lalu. Jika tak ada ledakan kasus baru, kita bersama dunia pun tengah menanti perubahan status pandemi Covid-19 menjadi endemi pada pertengahan tahun ini.
Salah satu hal mencolok dari gaya Budi dalam menangani pandemi adalah kebijakan-kebijakannya berbasiskan pada data dan riset-riset ilmiah. Ia juga cukup adaptif dan responsif terhadap perkembangan baru untuk kemudian melahirkan sebuah kebijakan. “Saya melihat potensi ledakan kasus setelah mudik lebaran,” katanya di awal Mei 2021, saat sebelum kasus Varian Delta meledak di Indonesia pascalebaran.
Menurut Budi, Indonesia memetik pelajaran besar dari petaka wabah besar tersebut. Yang terpenting adalah kemampuan layanan kesehatan negara ini dalam memproduksi obat serta alat-alat kesehatan. Indonesia juga memerlukan sumber daya besar untuk memobilisasi penelusuran pasien serta vaksinasi.
Di sisi lain, pekerjaan-pekerjaan rumah itu harus dibereskan karena dunia bakal terus dalam ancaman pandemi baru di masa depan, yang siklusnya diprediksi datang lebih cepat.
Selain di dalam negeri, Budi terlibat aktif dalam upaya-upaya bersama dunia untuk menangani pandemi berikutnya. Ia bersama Menteri Kesehatan dari negara-negara anggota G20 bersepakat membentuk dana pandemi senilai US$1,4 miliar atau sekitar Rp 21 triliun. Dana itu dirilis saat perhelatan Presidensi Indonesia G20 di Bali, November 2022.
Dana yang merupakan urunan dari banyak negara itu akan digunakan untuk memobilisasi sumber daya kesehatan jika potensi wabah besar muncul kembali di masa mendatang.
Kini, meski pandemi akan segera berlalu, Budi masih harus menyelesaikan tugas besar yakni mendorong transformasi kesehatan di Indonesia.
Dalam rangka mengapresiasi para tokoh yang berkontribusi besar dalam penanganan pandemi Covid-19, Katadata menyajikan edisi khusus Katadata25. Sebanyak 25 tokoh atau lembaga kami sajikan dalam beragam konten informatif. Simak rangkaian lengkapnya di sini.