Ukraina Tolak Proposal Perdamaian dari Prabowo, Pakar Ungkap Alasannya
Proposal perdamaian yang disampaikan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk mengakhiri perang Rusia dan Ukraina ditolak. Bahkan, Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov beranggapan, apa yang disampaikan Prabowo aneh dan terlihat lebih seperti rencana Rusia.
Peneliti Hubungan Internasional yang juga pengajar di Universitas Airlangga, Radityo Dharma Putra menilai penolakan terhadap proposal yang diajukan Prabowo hal yang wajar. Ia menyebut proposal itu diajukan Prabowo pada waktu yang tidak tepat karena tidak sesuai dengan kondisi di lapangan saat ini.
“Proposal tersebut tidak sesuai dengan prinsip Indonesia dan tidak mempertimbangkan konteks sejarah dan politik kawasan Eropa Timur,” kata Radityo seperti dikonfirmasi, Senin (5/6).
Sebelumnya saat berpidato di forum Shangri-La Dialogue di Singapura, Sabtu (3/6) lalu Prabowo menyerukan upaya perdamaian antara Rusia - Ukraina. Saat itu Prabowo mengusulkan beberapa poin di antaranya gencatan senjata, usulan penarikan mundur pasukan dari kedua negara sejauh 15 kilometer dari titik gencatan senjata sehingga dapat menghadirkan wilayah demiliterisasi, pembentukan pasukan penjaga perdamaian dan pemantau PBB, dan referendum di wilayah sengketa.
“Yang pertama harus dilakukan adalah meminta pihak Ukraina dan Rusia untuk menerapkan gencatan senjata,"kata Prabowo dalam keterangannya, dikutip dari Antara, Senin (5/6).
Menurut Radityo usulan gencatan senjata yang disampaikan Prabowo tidak memiliki dasar yang kuat. Ia menyebut tak ada jaminan Rusia berhenti menyerang Ukraina. Ia mengatakan, sejak awal perang sudah banyak upaya gencatan senjata, terutama oleh Turki.
"Tercatat sejak 28 Februari 2022 sudah ada belasan kali upaya tersebut. Hasil: nihil!," kata Radityo.
Menurutnya, terdapat tiga hal yang menghalangi terealisasinya gencatan senjata. Pertama, Rusia tidak menghentikan serangan bahkan ketika negosiasi berjalan. Kedua, tragedi di Bucha membuat trauma bagi Ukraina. Sedangkan alasan terakhir, kebiasaan Rusia yang tidak pernah tepat janji.
"Seruan gencatan senjata harusnya ditekankan dulu pada Rusia agar menghentikan serangan dan menarik mundur pasukannya," kata Radityo lagi.
Selain itu, ia menyebut sebelum sampai pada upaya gencatan senjata perlu ada jaminan keamanan dari negara-negara lain. Baru setelahnya bisa ada komitmen lanjutan perundingan dalam bentuk apapun.
Kemudian, terkait penarikan mundur pasukan sejauh 15 km dan pembentukan zona demiliterisasi dinilainya tidak masuk akal bagi Ukraina. Alasannya saat ini Ukraina tidak berada dalam posisi terdesak sehingga demiliterisasi dinilai akan merugikan Ukraina.
Pasalnya, situasi terkini Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy baru saja mengatakan Ukraina sudah siap melakukan serangan balik. Dengan begitu, apabila ada usul untuk meminta serangan dihentikan dan mundur maka situasinya terkesan tidak masuk akal untuk Ukraina.
Lebih jauh Radityo mengatakan proposal demiliterisasi tidak mudah diterima Ukraina karena bisa saja dianggap sebagai hadiah untuk Rusia. Dia menilai Ukraina akan kehilangan sebagian wilayah bila Rusia dibiarkan menginvasi lalu diberi hadiah menguasai sebagian wilayah yang diambil.
"Selain berlawanan dengan prinsip integritas wilayah, juga malah menjadi insentif bagi negara “kuat”," katanya.
Sedangkan untuk proposal referendum menurut Radityo merupakan hal yang tidak tepat ditawarkan pada masyarakat yang sedang berada di wilayah yang berkonflik. Alasannya dalam perang Rusia-Ukraina, Radityo mengatakan tak ada wilayah yang dalam sengketa. Situasi yang terjadi adalah adanya wilayah Ukraina yang diambil secara paksa oleh Rusia sejak 2014.
Ia menjelaskan, referendum baru bisa dilakukan jika semua penduduk Ukraina di wilayah tersebut kembali dari pengungsian. Seluruh penduduk bisa menyatakan suara dengan penyelenggaraan referendum dilakukan PBB.
Secara keseluruhan ia menilai proposal perdamaian yang diajukan Prabowo bisa menjadi preseden buruk bagi negara lain. Selain itu ia menyebut proposal yang diajukan Prabowo juga tidak mencerminkan sikap netral Indonesia seperti yang selama ini telah ditunjukkan oleh Kementerian Luar Negeri.
"Bayangkan di masa depan, ada negara kuat menginvasi negara tetangga, lalu melakukan referendum palsu dan diterima oleh masyarakat dunia. Indonesia punya potensi wilayah bermasalah," kata Radityo lagi.
Lebih jauh Radityo menilai proposal perdamaian yang dibuat Prabowo juga tidak memposisikan Rusia sebagai agresor, dan justru melemahkan posisi tawar Ukraina. Proposal itu juga dinilai masih bias “great power” tapi seakan berusaha menjadi penengah dan netral.