Alasan PKS dan Demokrat Tolak Pengesahan UU Kesehatan
Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS menolak pengesahan UU Kesehatan pada rapat paripurna hari ini. Dalam rapat paripurna, hanya enam fraksi DPR yang menyetujui pengesahan UU Kesehatan secara penuh, yakni PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, PAN, dan PPP.
Demokrat dan PKS menyoroti pembahasan UU Kesehatan yang baru tergesa-gesa dan menyalahi asas pembuatan undang-Undang yang baik. Wakil Ketua Komisi X DPR Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf menilai pembahasan UU Kesehatan yang baru kurang memberikan ruang dan waktu pembahasan yang cukup panjang.
Dia menilai UU Kesehatan yang baru disahkan ini kurang komprehensif, holistik, berbobot, dan berkualitas. "Berdasarkan catatan penting di atas, dengan ini Fraksi Partai Demokrat menolak RUU tentang Kesehatan untuk disahkan jadi UU pada pembicaraan tingkat II," kata Dede dalam rapat paripurna, Selasa (11/7).
Dede memaparkan dua alasan penolakan pengesahan UU Kesehatan yang baru. Pertama, penghapusan mandatory spending atau alokasi anggaran kesehatan sebesar 10%.
Dede menilai mandatory spending merupakan klausul yang diperlukan untuk mencapai target Indeks Pembangunan Manusia atau IPM. Target IPM nasional pada 2022 mencapai 72,74%, tapi realisasi IPM hanya sebesar 72,91%.
Dia menilai mandatory spending menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat yang menjadi bagian perhitungan IPM. "Fraksi Partai Demokrat berpendapat mandatory spending kesehatan masih sangat diperlukan," katanya.
Kedua, indikasi liberalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis asing. Dede menekankan Fraksi Partai Demokrat tidak anti terhadap tenaga kesehatan asing.
Dede menyatakan UU Kesehatan yang baru tidak mempertimbangkan kesiapan dan konsekuensi dalam memudahkan dokter asing untuk praktek di dalam negeri. Dia menilai pemberian izin praktek pada dokter asing harus mengedepankan prinsip resiprokal.
Dede mengatakan Fraksi Partai Demokrat memahami kebutuhan investasi dalam industri pelayanan kesehatan. Akan tetapi, Dede menyampaikan sebuah aturan menjadi tidak baik jika terlalu berorientasi kepada bisnis.
Anggota Komisi IX DPR Fraksi PKS Netty Prasetiyani mengatakan penghapusan mandatory spending merupakan kemunduran dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat. Alasannya, sembilan dari 10 prioritas kesehatan saat ini masih belum tercapai.
Netty mencatat salah satu prioritas kesehatan tersebut adalah pengentasan anak dengan masalah kurang gizi kronis atau stunting. Netty mencatat angka stunting pada anak di dalam negeri masih sebesar 21%.
"Dengan mandatory spending, jaminan anggaran kesehatan dapat teralokasi secara adil dalam rangka menjamin peningkatan derajat kesehatan masyarakat," kata Netty.
Hal lain yang disoroti Netty adalah kemudahan praktek di dalam negeri pada dokter asing oleh pemerintah. Netty berpendapat hal tersebut dapat menghilangkan kesempatan kerja bagi dokter domestik.
"Menimbang beberapa hal yang sudah kami paparkan, kami Fraksi PKS menyatakan menolak RUU tentang Kesehatan untuk disahkan menjadi UU," katanya.
Meski tak terang-terangan menolak RUU Kesehatan, Nasdem meminta alokasi wajib atau mandatory spending kesehatan sebesar 10% harus dibahas pada rapat paripurna.
Namun, usulan Nasdem ini tak terakomodir. Rapat paripurna tidak membahas isu mandatory spending.