Alokasi Wajib Dana Kesehatan Hilang, Kemenkes Akan Fokus Pencegahan
Kementerian Kesehatan menjelaskan alasan penghapusan alokasi wajib atau mandatory spending dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengatakan pemerintah berkaca kepada Kuba dan Singapura.
Kunta mencatat belanja kesehatan Kuba per kapita hanya US$ 2.000 per tahun, namun angka harapan hidup di Negeri Fidel Castro mencapai 80 tahun. Senada, angka harapan hidup di Singapura mencapai 84 tahun dengan belanja per kapita U$ 2.800 per tahun.
Pada saat yang sama, belanja kesehatan di Amerika Serikat mencapai US$ 11.000 per tahun dengan angka harapan hidup 80 tahun atau serupa dengan Kuba. Adapun, belanja kesehatan di Indonesia kini sekitar US$ 140 dengan angka harapan hidup 72 tahun.
"Yang kami pelajari, ternyata Kuba dan Singapura lebih berat ke promotif dan preventif atau mencegah," kata Kunta di Hotel Sultan, Rabu (9/8).
Kunta mengatakan Indonesia tak ingin meniru Amerika Serikat yang memiliki belanja kesehatan yang tinggi lantaran fokus pada sisi penyembuhan. Menurutnya, hal tersebut menghasilkan industri obat yang maju, namun memiliki biaya kesehatan yang tinggi.
"Makanya Kemenkes memperkuat promotif dan preventif dengan membangun Posyandu dan Puskesmas," katanya.
Seperti diketahui, UU Kesehatan telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (8/8). Setidaknya ada empat pertimbangan dalam UU Kesehatan yang baru, yakni pembangunan sumber daya manusia kesehatan, transformasi kesehatan, pengembangan industri kesehatan, dan penguatan sistem kesehatan.
Adapun, mandatory spending kesehatan sebesar 5% yang sebelumnya termuat dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tidak ada dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Kunta menyatakan pemerintah akan melakukan penganggaran kesehatan berdasarkan perencanaan yang akan dilakukan pemerintah daerah.
Selain itu, Kunta mencatat anggaran kesehatan beberapa tahun terakhir telah mendekati 10%. Untuk diketahui, klausul mandatory spending sebelumnya diusulkan untuk naik menjadi 10% namun akhirnya ditolak.
"Intinya, outcome kesehatan itu yang kami kejar. Perubahan pola pikir ini yang kami perlukan," kata Kunta.