Ahli Tata Negara Ungkap Bahaya bila MK Kabulkan Gugatan Usia Capres
Mahkamah Konstitusi akan membacakan putusan sejumlah perkara uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait batas usia capres dan cawapres pada Senin (16/10) pekan depan. Pengamat hukum dan tata negara Bivitri Susanti memperingatkan risiko politik jika MK mengabulkan gugatan tersebut.
Menurut Bivitri MK akan menghadapi risiko jangka panjang bila salah mengambil keputusan. Ia menyebut legitimasi mahkamah akan jatuh jika tak mengambil putusan yang tak konsisten. Hal itu menurut dia akan berbahaya bagi negara hukum.
“Legitimasi MK yang sangat tipis bergantung pada kepercayaan masyarakat itu akan sangat jatuh. Dan MK kita tahu sudah mulai diolok-olok, di-ridicule ‘Mahkamah Keluarga’,” ujar Bivitri kepada Katadata.co.id seperti dikutip Jumat (1310).
Dosen STHI Jentera itu berharap hakim MK bisa berpikir jangka panjang dan segera menyadari risiko dari keputusan yang akan diambil. Kesadaran itu diyakini bisa membuat hakim lebih berpikir jernih dalam memutuskan perkara.
Bivitri mengungkapkan, sebelumnya paling tidak MK sudah mempunyai 7 putusan terkait usia. MK menganggap usia bukan isu konstitusional tetapi kebijakan hukum terbuka atau open legal policy dari pembentuk Undang-undang. Hal itu menurut dia seharusnya bisa menjadi pegangan bagi mahkamah dalam mengambil putusan untuk perkara serupa.
“Sehingga, seharusnya MK menolak dengan konteks bahwa seharusnya itu silakan diatur dalam Undang-undang, dibahas di Senayan di sana secara terbuka dan partisipatif,” kata Bivitri lagi.
Indikasi MK Kabulkan Gugatan Usia Capres
Di sisi lain, Bivitri menggambarkan, bila berdasarkan analisis politik, terdapat empat indikasi yang mengarah pada kemungkinan MK mengabulkan gugatan tersebut. Pertama, kata Bivitri, belakangan MK memang telah mengeluarkan putusan yang sangat kontroversial seperti putusan mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK.
MK juga mengeluarkan putusan menolak uji formil Undang-undang Cipta Kerja. Keputusan itu bahkan juga mendapat penolakan di internal hakim MK yang ditandai dengan adanya dissenting opinion dari hakim.
“Kontroversial dalam hal argumennya dan didukung oleh dari segi banyaknya hakim yang mengajukan pendapat berbeda itu sangat tipis ya 4 banding 5 biasanya, ada 4 yang punya pendapat berbeda,” kata Bivitri.
Indikasi kedua menurut dia adalah adanya benturan kepentingan yang sangat tinggi. Padahal menurut Bivitri sebagai lembaga independen, MK harus terbebas dari benturan kepentingan.
Hal itu didasari pada status ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang merupakan adik ipar dari presiden Joko Widodo. Hubungan keluarga ini menurut dia memiliki benturan dengan pihak yang akan diuntungkan langsung saat putusan tersebut keluar. Pasalnya, saat ini satu-satunya kandidat bakal calon wakil presiden yang akan berlaga di Pilpres 2024 dan berusia di bawah 40 tahun hanya Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra Jokowi.
“Jadi benturan kepentingannya luar biasa tinggi sebenarnya. secara etik seharusnya dia (Anwar) mundur,” ujar Bivitri menjelaskan.
Kemudian, indikasi ketiga, beberapa waktu lalu Anwar pun sempat mengatakan bahwa saat ini merupakan gilirannya anak muda memimpin. Hal itu tak etis lantaran disampaikan Ketua MK saat menghadiri diskusi di sebuah kampus, di tengah kemelut gugatan batas usia capres dan cawapres.
“Itu melanggar kode etik karena menurut etik tidak boleh seorang hakim berkomentar apapun mengenai kasus yang mereka sedang hadapi,” kata Bivitri.
Kemudian indikasi terakhir, terdapat kabar penundaan putusan. Bivitri mengatakan, hal tersebut telah terverifikasi oleh investigasi yang dilakukan sejumlah media beberapa waktu lalu.
“Jadi empat indikasi itu mengantarkan saya pada prediksi bahwa sangat mungkin akan dikabulkan (pada sidang putusan) hari Senin,” katanya.
Prediksi Dua Kemungkinan Model Putusan
Bivitri memprediksi, dua kemungkinan putusan nanti. Kemungkinan pertama, disetujuinya batas usia capres dan cawapres di bawah 40 tahun atau 35 tahun. Kemungkinan kedua, batas usia tetap 40 tahun tetapi ditambahkan frasa ‘atau pernah menduduki jabatan kepala daerah sebelumnya’.
Sebelumnya uji materi soal penurunan usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia. Sedangkan usulan penambahan frasa atau pernah menduduki jabatan kepala daerah diajukan oleh Partai Garuda dan politikus Partai Gerindra yang merupakan pendukung Prabowo di pilpres. Adapun koalisi pendukung Prabowo saat ini getol mengusulkan agar Gibran menjadi cawapres.
Bivitri berharap agar MK menyadari risiko politik yang akan dihadapi jika gugatan tersebut dikabulkan. “Saya ingin hakim-hakim MK menyadari risiko politik yang akan mereka hadapi, kalau MK sampai mengabulkan,” ujar dia.
Uji Materi yang sedang bergulir di MK saat ini meminta ada perubahan atas pasal batas usia capres dan cawapres minimal 40 tahun yang diatur dalam pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu. Dalam gugatan perkara 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan pada 9 Maret 2023 itu, PSI meminta MK menurunkan usia capres menjadi 35 tahun.
Selanjutnya pada perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Garuda, terdapat penambahan frasa pengalaman sebagai penyelenggara negara. Penambahan frasa ini diminta dapat menjadi syarat alternatif selain usia minimum 40 tahun. Garuda merupakan salah satu partai yang telah menyatakan dukungan untuk Prabowo di pilpres.
Gugatan lain dengan perkara yang sama teregister dengan perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan dua kader Gerindra yakni Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa. Gugatan itu mengajukan petitum yang sama dengan Garuda yaitu penambahan frasa.
Dilansir dari laman resminya, sepanjang tahun 2023 MK telah menerima 27 permohonan terkait Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Permohonan terakhir yang diajukan kepada MK terjadi pada 18 September 2023 lalu oleh Gugum Ridho Putra. Namun pada Senin pekan depan, MK hanya akan membacakan putusan untuk 7 perkara.