Putusan MK Dinilai Cacat Administrasi Saat Tak Ditandatangani Pemohon
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai sembilan hakim Mahkamah Konstitusi berpotensi dikenakan sanksi pelanggaran etik atas putusan untuk perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Hal itu lantaran MK tetap melanjutkan persidangan dan sampai pada putusan meski dokumen permohonan dinilai cacat administrasi.
Menurut Feri dugaan cacat administrasi itu dapat terlihat dari tidak adanya tanda tangan yang dibubuhkan pada permohonan uji materi yang diajukan Almas Tsaqibbirru Re. Perkara tanda tangan itu sebelumnya juga disinggung oleh Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dalam sidang yang digelar Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Kamis (2/11).
“Itu bisa berdampak pada perkara, permohonan. Jadi ada cacat administrasi yang kemudian dibiarkan oleh hakim,” ujar Feri saat dihubungi Katadata.co.id Kamis (2/11).
Meski begitu, Feri mengatakan dugaan pelanggaran etik atas pembiaran itu bisa saja tidak dijatuhkan pada sembilan hakim. Dia menyebut Majelis Kehormatan akan memiliki pertimbangan sendiri dalam putusan. Apalagi menurut dia, dugaan cacat administrasi pada perkara yang diputus MK bisa saja mendapat teguran mulai dari sedang hingga teguran berat berupa pemberhentian.
“Tentu MKMK akan melihat berdasarkan berat-ringan pelanggaran yang dilakukan,” ujar Feri.
Di sisi lain, Feri mengatakan bila pada pembuktian nantinya MKMK membenarkan bahwa tidak ada tanda tangan dalam perkara yang telah diputus dan dikabulkan MK, Majelis tetap tidak bisa mengintervensi putusan yang telah dibuat. “Apakah kemudian, putusan MK itu sah atau tidak? Jawabannya tidak sah karena keputusan itu diambil tidak sesuai proseduralnya. Jadi pasti tidak sah. Akan tetapi itu tidak ada kaitan dengan putusan MKMK,,” ujar Ferry.
Putusan MK Bersifat Final
Lebih jauh ia mengatakan meski kemudian MKMK mengakui adanya dugaan cacat administrasi putusan MK tetap berlaku karena bersifat final dan mengikat. Hal itu sudah diatur dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 10 Undang-Undang MK. Putusan MKMK menurut Feri tidak akan berpengaruh dan terhadap putusan yang telah dibuat Mahkamah Konstitusi.
Ia menyebut putusan yang dikeluarkan Majelis Kehormatan berkaitan dengan dugaan pelanggaran etik hakim hanya bisa digunakan sebagai alat bukti baru untuk alasan baru pengajuan perkara yang sama terkait dengan pasal 169 huruf q. Hal itu menurut dia sangat dimungkinkan karena selama ini sudah ada beberapa putusan MK yang diperbaiki lewat putusan setelahnya.
Menurut Feri, lembaga yang dapat memberikan penilaian terkait keabsahan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden adalah MK sendiri. "Yang dapat mengatakan putusan 90 tidak sah karena catat prosedur itu MK sendiri," ujar Feri.
MKMK pada Selasa (31/10) dan Rabu (1/11) telah memeriksa enam hakim yang terdiri dari Anwar Usman, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Manahan Sitompul, dan Suhartoyo. MKMK akan kembali memeriksa tiga hakim konstitusi pada Kamis (2/11) yakni Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Guntur Hamzah, dan Wahiduddin.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengatakan terdapat 11 poin persoalan yang ditemukan MKMK terkait MK, berdasarkan laporan dari masyarakat. Laporan itu antara lain soal dugaan konflik kepentingan, perilaku hakim yang berbicara di luar sidang terkait perkara yang ditangani, bocornya data internal, dugaan pembiaran oleh hakim MK dan juga soal materi dissenting opinion yang muatannya melebihi yang seharusnya.