Hasto Sebut Harun Masiko Korban Kasus Suap, KPK: Tidak Ada Fakta Hukum

Ade Rosman
18 Maret 2024, 13:32
Hasto soal Harun Masiku
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Sejumlah massa aksi membawa poster saat berunjuk rasa terkait buronan KPK yang juga Politisi PDI Perjuangan Harun Masiku di depan gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Rabu (8/3/2023).
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberatan Korupsi (KPK) Ali Fikri bereaksi atas pernyataan yang dilontarkan Sekretaris Jenderap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. Dalam pernyataan terbaru Hasto mengatakan Harun Masiku merupakan korban politisasi kasus suap berkaitan dengan hasil pemilu.

"Sejauh ini tidak ada fakta hukum soal hal tersebut baik hasil penyidikan KPK maupun pertimbangan putusan majelis hakim," kata Ali kepada wartawan, Senin (18/3). 

Menurut Ali kasus yang menjerat Harun merupakan murni perkara hukum. Hingga kini KPK masih menindaklanjuti kasus itu dan mencari keberadaan Harun Masiku yang masih berstatus buron. 

Sebelumnya Hasto menyebut tersangka kasus dugaan suap yang merupakan mantan calon legislatif partainya, Harun Masiku merupakan korban. Ia mengatakan hal tersebut saat wawancara dengan Liputan6 Sabtu (16/3) lalu.

Menurut Hasto, kasus Harun sengaja dimunculkan dan dikaitkan dengan dirinya lantara vokal menyuarakan dugaan kecurangan pemilu. Ia menyebut kasus Harun kerap digunakan sebagai alat intimidasi untuknya dan PDIP sejak Pemilu 2009.

"Harun Masiku ini kan sebenarnya dia korban, karena dia memiliki hak konstitusional saat itu berdasarkan putusan Mahkamah Agung. PDI ini berjuang dengan jalur-jalur konstitusional, jalur-jalur hukum," kata Hasto, dikutip dari YouTube Liputan6, Senin (18/3).

Hasti mengatakan, berdasarkan putusan MA itu, Harun seharusnya mendapat pelimpahan suara dari PDIP berdasarkan kebijakan partai lantaran caleg terpilih pada waktu itu meninggal dunia. Menurut Hasto, pada proses itu terdapat tekanan dari oknum Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang meminta imbalan, yang mendasari Harun memberikan uang sehingga dikategorikan sebagai pemberian suap.

“Tetapi sebenarnya kasus itu proses untuk mengaitkan dengan saya, padahal sudah ada tiga orang yang menjalani hukuman tindak pidana, tetapi sebenarnya diawali kompleksitas pemilu, sehingga mereka yang memiliki kebenaran secara hukum pun masih bisa diperas agar menjadi anggota legislatif,” kata Hasto.

Lebih jauh, Hasto mengatakan, kasus Harun Masiku merupakan upaya untuk mencari kelemahan Hasto sebagai Sekjen PDIP. Ia menilai upaya itu menggunakan instrumen  hukum untuk menargetkan dirinya.

“Ini terbukti kasus Harun Masiku adalah upaya mencari kelemahan diri saya sebagai Sekjen dan upaya menggunakan instrumen hukum untuk menargetkan saya. Saya sudah menjelaskan di pengadilan dan tidak ditemukan fakta yang berkaitan dengan saya,” kata Hasto. 

Di sisi lain, menurutnya kasus Harun Masiku dimunculkan lantaran ia kerap mempersoalkan dugaan kecurangan Pemilu 2024. Ia juga menilai kasus itu berkaitan dengan dirinya yang sering mengkritik Presiden Jokowi dan gerbong parpol pengusung paslon nomor 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Duduk Perkara Harun Masiku hingga Jadi Buronan KPK 

Harun Masiku ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam perkara dugaan pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat terpilih periode 2019-2024 di KPU RI. Meski demikian, Harun Masiku selalu mangkir dari panggilan penyidik KPK hingga dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 Januari 2020.

Selain Harun, pihak lain yang terlibat dalam perkara tersebut adalah mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Periode 2017-2022 Wahyu Setiawan. Wahyu Setiawan juga merupakan terpidana dalam kasus yang sama dengan Harun Masiku dan saat ini tengah menjalani bebas bersyarat dari pidana 7 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedungpane Semarang, Jawa Tengah.

KPK menjebloskan Wahyu Setiawan ke balik jeruji besi berdasarkan putusan MA Nomor: 1857 K/ Pid.Sus/2021 jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 37/Pid.Sus-TPK/2020/PT DKI jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 24 Agustus 2020 yang telah berkekuatan hukum tetap.

Terpidana Wahyu Setiawan juga dibebani kewajiban membayar denda sejumlah Rp 200 juta. Bila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan. Wahyu juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.

Sebelumnya, amar putusan kasasi terhadap Wahyu Setiawan adalah menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.

Meski majelis kasasi menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), namun khusus permohonan pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik bagi Wahyu telah dipertimbangkan dan diputus sebagaimana permohonan dari tim JPU dalam memori kasasi yang sebelumnya telah diajukan kepada MA.

Dalam persidangan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 Agustus 2020, majelis hakim memutuskan Wahyu divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan. Majelis hakim pun memutuskan tidak mencabut hak politik Wahyu pada masa waktu tertentu seperti tuntutan JPU KPK.

Kemudian pada 7 September 2020, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis 6 tahun penjara bagi Wahyu atau masih lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang menuntut agar Wahyu divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Putusan banding tersebut tidak menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik bagi Wahyu selama 4 tahun setelah menjalani hukuman pidana seperti yang dituntut KPK. Sedangkan kader PDI Perjuangan Agustiani Tio Fridelina yang ikut menerima suap Rp 600 juta dari Harun Masiku bersama-sama dengan Wahyu divonis 4 tahun penjara.

Dalam perkara ini, Wahyu dan Agustiani terbukti menerima uang sebesar 19 ribu dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura atau seluruhnya Rp600 juta dari kader PDIP Harun Masiku yang saat ini masih buron. Tujuan penerimaan uang tersebut agar Wahyu dapat mengupayakan KPU menyetujui permohonan Penggantian Antar-Waktu (PAW) Anggota DPR RI PDI Perjuangan dari Dapil Sumatera Selatan 1, yakni Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

Reporter: Ade Rosman

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...