Bukan Profit, Investasi Budaya untuk Pembangunan Manusia
Taman Ismail Marzuki (TIM) kini menjadi tempat yang kerap dikunjungi Angki. Dalam ulasannya di Google, ia mengaku sering menghabiskan waktu ruang terbuka hijau dan perpustakaan di lingkungan tersebut. Buat pembaca seperti Angki, TIM memang membuat mager alias “malas bergerak”.
“Saya bisa membaca sambil berbaring, duduk santai, atau sekadar diam menghabiskan waktu,” demikian ia menulis dalam ulasan daringnya awal tahun ini.
Pengalaman Angki merupakan buah revitalisasi komplek TIM yang dilakukan pada periode 2019-2022. Kawasan cagar budaya tersebut kini memiliki sejumlah fasilitas yang membuat betah pecinta buku dan budaya, di antaranya Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, gedung teater berkapasitas 1.200 penonton, gedung teater berstandar internasional Graha Bhakti Budaya dengan 848 kursi, teater kecil, teater halaman, masjid, Kineforum, dan Planetarium.
Akun lainnya, Masriah Hasan, memberikan komentar senada. Ia mengaku nyaman mengunjungi kompleks TIM, terutama galeri pameran untuk menikmati karya-karya seniman yang ditampilkan. Buat Masriah, pengalaman ini membuatnya lebih mengapresiasi galeri dan karya-karya tersebut.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana, seperti dikutip Antara, mengatakan rata-rata pengunjung TIM setiap bulannya mencapai 5.990 orang pada Januari-Juni 2023. Bandingkan dengan total kunjungan Januari-Desember 2021 yang hanya 1.775 orang.
Dengan antusiasme dan banyaknya pengunjung, apakah investasi revitalisasi TIM sebesar Rp 1,4 triliun sudah kembali? “Tanpa subsidi pun sulit untuk mengembalikan investasi tersebut,” kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Hilmar mengatakan, investasi di sektor kebudayaan tidak melulu soal imbal hasil keuangan, apalagi dalam jangka pendek. Ia menilai, alih-alih profit yang harus dinilai adalah dampak sosial dan kultural bagi publik. Dalam hal ini, pengalaman Angki, Masriah, dan para pengunjung TIM adalah refleksi dari manfaat yang tak ternilai. Dengan kata lain, yang perlu diukur adalah social return on investment (SROI) dan cultural return on investment (CROI).
“Kita tidak menghitung pendapatan dari jumlah penonton, tetapi kontribusi kegiatan yang diselenggarakan di TIM atau taman budaya lainnya terhadap peningkatan apresiasi publik, penguatan kohesi sosial dan identitas kultural,” kata Hilmar dalam tulisan opininya di Harian Kompas, Senin (15/4/2024).
Manfaat investasi untuk pembangunan kebudayaan juga bisa dilihat dalam Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) yang diluncurkan Kemendikbudristek. Indeks yang merupakan kolaborasi dengan Katadata Insight Center (KIC) itu menyebutkan bahwa Indonesia mengantongi skor IPK 55,13 poin pada 2022. Nilai ini melampaui capaian tahun sebelumnya (saat pandemi Covid-19) sebesar 51,9 poin. Skor 0 menunjukkan perkembangan atau kemajuan kebudayaan yang sangat rendah, sedangkan 100 artinya sangat baik.
Indeks ini juga menemukan korelasi yang cukup kuat antara Dimensi Ekonomi IPK dengan tingkat kemiskinan. “Semakin tinggi Dimensi Ekonomi Budaya IPK, maka semakin rendah tingkat kemiskinan, begitupun sebaliknya,” demikian laporan riset tersebut.
Lebih lanjut, essai karya De Budi Sudarsono, statistikawan kebudayaan, berjudul Manfaat Sosial Investasi di Sektor Budaya pada April 2024 menjabarkan aspek kebudayaan yang kerap terabaikan tetapi memiliki potensi besar dalam memajukan kualitas ekonomi, sosial, hingga demokrasi Indonesia.
Di sektor demokrasi, masyarakat yang mengapresiasi budaya akan terdorong untuk mengkritik, merefleksikan, serta memberikan pandangannya terhadap isu sosial-politik melalui karya. “Dengan adanya kebebasan ekspresi di sektor budaya, masyarakat menjadi terdorong berkontribusi dalam pembentukan kebijakan publik,” kata Budi.
Budi menilai bahwa investasi yang tepat dan didukung oleh kebijakan yang memadai oleh pemerintah juga dapat menjadikan kebudayaan sebagai katalis pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Kebudayaan juga memiliki pengaruh positif terhadap pembangunan manusia Indonesia secara umum. Hal tersebut termuat dalam riset Pengaruh Pembangunan Kebudayaan terhadap Pembangunan Manusia di Indonesia yang ditulis oleh Isna Zuriatina dari Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Barat pada 2020.
Isna mengungkapkan, setiap kenaikan satu persen IPK, akan menaikkan IPM sebesar 0,437%. Artinya, semakin tinggi capaian pembangunan kebudayaan maka semakin tinggi pula capaian pembangunan manusia suatu daerah. Adapun standar penilaian IPM, yakni sangat tinggi (lebih dari atau sama dengan 80 poin); tinggi (70-80 poin), sedang (60-70 poin); dan rendah (kurang dari 60).
Menurut Isna, temuan ini bisa menjadi masukan konstruktif untuk pemerintah. Toh, investasi di sektor budaya ini bisa memberikan dampak pengganda atau multiplier effect bagi kehidupan publik. Gelaran ArtJog, contohnya, berkontribusi sebesar Rp3,4 triliun atau 2,28% dari produk domestik regional bruto (PDRB) DI Yogyakarta, menurut studi Dewi dan Subagya yang ditulis Ratri Ninditya pada April 2024.
Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Oktober 2023 juga menunjukkan, sektor ekonomi kreatif berkontribusi hingga Rp1.280 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional 2022. Sumbangan tenaga kerjanya mencapai 17,7% pada tahun yang sama.
“Segala perencanaan pembangunan harus juga mempertimbangkan pembangunan kebudayaan,“ tulis Isna dalam jurnalnya.