Heboh Dugaan Pencatutan Dukungan Dharma-Kun, Apa Ancaman Hukumannya?
Ramai kabar dugaan pencatutan Nomor Induk Kependudukan atau NIK warga Jakarta secara sepihak oleh kandidat independen Pilgub Jakarta, Dharma Pongrekun-Kun Wardana alias Dharma-Kun. Terkait kabar tersebut, pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan baik calon perseorangan dan penyelenggara Pilkada bisa diancam hukuman pidana bila terbukti memanipulasi dukungan tanpa verifikasi.
“UU Pilkada mengatur bahwa manipulasi dukungan bagi calon perseorangan merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2015 dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota,” kata Titi lewat pesan singkat pada Katadata, Jumat (16/8).
Dalam Pasal 185 UU 8/2015, setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menggunakan identitas palsu untuk mendukung calon perseorangan bisa dipidana penjara paling singkat 12 bulan, paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 36 juta.
Di sisi lain, Pasal 185 A ayat 1 UU 10/2016 bilang siapapun yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan buat calon perseorangan, bisa dipenjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan. Mereka juga bisa didenda paling sedikit Rp 36 juta dan maksimal Rp 72 juta.
Pasal yang sama kemudian menyebut, penyelenggara pemilihan seperti KPU dan Bawaslu bisa dipidana yang sama seperti pemalsu daftar dukungan. Namun, ada tambahan sepertiga dari ancaman pidana maksimumnya.
“Sehingga, bagi masyarakat yang menemukan datanya dicatut oleh pasangan calon dan tidak diverifikasi faktual dalam proses pencalonan, harap melaporkan ke Bawaslu daerah terdekat,” ujar Titi.
Ia menyarankan korban pencatutan melaporkan langsung ke Bawaslu Provinsi untuk masalah pencalonan gubernur.
Dukungan yang menggunakan pencatutan bakal dianggap tidak sah. Selain tidak benar, membuktikan ada masalah dalam verifikasi yang dilakukan sebab tidak mampu mengidentifikasi kebenaran dukungan calon perseorangan.
Di sisi lain, ia juga meminta Bawaslu bertindak proaktif yakni tidak perlu menunggu masuknya laporan indikasi pencatutan dukungan. Soalnya, penyelenggara pemilu yang terbukti tidak melakukan verifikasi juga diancam pidana penjara dan denda, seperti diatur dalam UU Pilkada.
Titi mengingatkan aturan tersebut diatur dalam Pasal 186 ayat 2 UU 1/2015.Bagi anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap calon perseorangan diancam hukuman pidana dan denda.
"Aturan tersebut mengatur ancaman pidana 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 72 juta," kata Titi.
Titi juga menyoroti maraknya pencatutan data pendukung tiap kali adanya pilkada. Bahkan pada Pemilu 2024 lalu, ada kasus serupa dalam proses verifikasi partai politik peserta pemilu.
Menurutnya, tren ini muncul karena persyaratan pencalonan yang berat, rumit, dan kompleks. Bukan hanya itu, pengelolaan dan perlindungan data pribadi juga buruk sehingga marak terjadi kebocoran data.
“Namun, apabila trennya amat masif, besar kemungkinan hal itu melibatkan pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk mengakses data," kata dia.
Dia mendorong agar isu pencatutan ini harus diproses serius oleh Bawaslu dan aparat penegak hukum menggunakan UU Pilkada dan UU Perlindungan Data Pribadi serta UU ITE.