Kawal Uji Materi Pasal Suap di MK, Maqdir Sodorkan Banyak Bahan Penguat
Kuasa hukum para pemohon uji materi judicial review Undang-Undang 31/1999 jo Undang-Undang 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Maqdir Ismail mengatakan menyodorkan banyak bukti penguat dalam permohonan yang kini tengah bergulir . Hal itu dilakukan sebagai upaya memastikan uji materi dapat diproses MK.
"Saya kira cukup banyak. Saya tidak ingat apa saja. Tapi yang pasti bahwa kami menguji pasal 2 ayat (1), dan pasal 3," kata Maqdir usai menghadiri seminar di Kampus Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (29/10).
Dalam proses uji materi yang saat ini tengah berjalan, Maqdir mengatakan diminta untuk memperbaiki beberapa alasan yang disampaikan dalam permohonan. Salah satu bahan tambahan yang disodorkan Maqdir berkaitan dengan cara menghitung kerugian dengan menggunakan Undang-Undang Perseroan.
Di sisi lain, Maqdir mengatakan bahwa hakikat dari korupsi di seluruh dunia yakni adanya suap menyuap. Ia menilai setiap orang harus menaruh perhatian tentang bagaimana tindak pidana korupsi berlangsung.
"Jadi ini yang juga mungkin kalian boleh tanya kepada teman-teman yang bekas pimpinan KPK, bagaimana ketika mereka mau melaksanakan kerja sama dengan penegak hukum asing, ya tidak diterima karena tindak perkaranya tidak ada dalam suap menyuap," katanya.
Di sisi lain, ia mengatakan berdasarkan data lembaga Transparansi Internasional Indonesia, indeks korupsi Indonesia tidak pernah naik. "Kenapa? Karena sebenarnya suap menyuap itu tidak kita berantas. Lebih banyak suap menyuap yang terjadi," katanya.
Dalam uji materi, Maqdir mengajukan pembatalan adalah pasal 2 ayat 1 yang menyebut tentang pidana perbuatan memperkaya diri yang merugikan keuangan negara. Sedangkan pasal 3 yang menyebut tentang pidana penyalahgunaan kewenangan atau jabatan yang merugikan keuangan negara, diajukan untuk direvisi.
Frase yang dipermasalahkan adalah, akibat aturan ini, penegak hukum hanya terfokus memaknai korupsi sebagai tindakan yang “merugikan negara” daripada “memperkaya diri”. Hal ini dinilai menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa, apalagi ketika keputusan direksi perusahaan atau pejabat publik yang didasari niat baik tetap berujung pada kerugian bisnis. Kerugian tersebut kemudian dianggap sebagai tindak korupsi, meski tidak terbukti bertujuan memperkaya diri.