Aliansi Zero Waste Soroti Lemahnya Komitmen Asia Hadapi Limbah Plastik
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyoroti kurangnya komitmen dan keseriusan perwakilan negara-negara Asia dalam menghadapi krisis plastik, sebagaimana terlihat dalam konferensi internasional Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5).
Co-Coordinator Nasional AZWI, Nindhita Proboretno, menyatakan bahwa negara-negara Asia, yang kerap disalahkan sebagai kontributor utama pencemaran plastik, menunjukkan sikap yang mengecewakan dalam proses negosiasi ini.
"Mereka lebih mendukung ekspansi produksi plastik tanpa melihat fakta apa yang terjadi di negaranya. Padahal Negara-negara Asia memiliki peluang besar untuk memimpin dengan memberi solusi sesuai dengan kearifan masyarakat lokal,” ujar Nindhita dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (2/12).
Nindhita mengtakan, pada 2024, plastik di Asia Tenggara diproyeksikan mencapai 30,48 juta ton, dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan lebih dari 4% selama periode 2024-2029.
Angka tersebut diperkirakan meningkat menjadi 38,36 juta ton pada tahun 2029. Namun, di tengah pertumbuhan itu bukti ilmiah semakin menunjukkan bahwa plastik membahayakan kesehatan manusia.
"Sejak 2020, lebih dari 200 penelitian mikroplastik telah dilakukan di kawasan ASEAN. Hasilnya menunjukkan paparan mikroplastik tinggi dalam tubuh manusia, berkisar antara 80 hingga 490 mg per kapita per hari," ujarnya.
Selain tidak adanya sikap yang kuat untuk menolak, Negosiasi INC-5 juga mendapat kritik karena membatasi partisipasi masyarakat sipil, menimbulkan kekecewaan atas kurangnya transparansi dan inklusivitas.
Terutama dari negara-negara Asia dibatasi akses ke pertemuan penting seperti Regional Meeting dan Contact Groups. Selain itu, terdapat kendala logistik seperti jumlah kursi tidak memadai dan kesempatan berbicara di sesi plenary yang terbatas.
Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati, mengatakan proses di INC-5 sangat mengecewakan, terutama jika dibandingkan dengan Perjanjian Lingkungan Multilateral (MEA) lainnya yang secara historis lebih inklusif dan transparan.
"Masyarakat sipil Indonesia sudah menempuh perjalanan jauh dengan keahlian dan pengalamannya masing-masing, tetapi suara kami diabaikan," ujar Yuyun.
Yuyun mengatakan, pembatasan akses dan peluang partisipasi menjadi hambatan besar untuk perjanjian ini.
"Namun, kita tidak boleh mundur. Kita harus terus memperjuangkan kesehatan, lingkungan, dan masa depan kita. Waktu sangat terbatas, dan hari ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mendorong perjanjian yang ambisius dan bermakna,” ucapnya.