100 Hari Kabinet Prabowo - Gibran: Evaluasi Buruk, Wacana Reshuffle Mengemuka


Sejumlah pakar politik berpendapat sejumlah menteri Kabinet Merah Putih masih belum menunjukkan kinerja optimal dalam 100 hari kerja masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Mereka menilai Prabowo harus menertibkan para menterinya dalam aspek kinerja, komunikasi publik dan etik.
Direktur Analisis Kebijakan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar, menilai bahwa sejumlah menteri Kabinet Merah Putih cenderung banyak melakukan manuver tak perlu dalam mendukung program prioritas pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis.
Media menyoroti pernyataan dari Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto yang berencana untuk menggunakan anggaran Rp 20 triliun Dana Desa untuk menyuplai bahan baku.
“Manuver ini tiba-tiba muncur seperti keputusan yang ‘asal bapak senang’. Belum tentu beliau sudah berkoordinasi langsung dengan Presiden Prabowo,” kata Media saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Jumat (31/1).
Dia juga menyoroti pernyataan dari Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang menyebut pemerintah bakal membuka 20 juta lahan hutan cadangan sebagai sumber ketahanan pangan, energi dan air. Rencana pembukaan 20 juta hektare lahan hutan cadangan itu setara dengan hampir dua kali luas Pulau Jawa yang mencakup 128.297 kilometer persegi atau sekitar 12,28 juta hektare (ha).
Selain itu, Media juga menganggap kinerja Menteri HAM Natalius Pigai tidak terlihat dalam 100 hari masa kerja awal. Dia menganggap pernyataan Pigai banyak menimbulkan polemik dan minim menyampaikan capaian kementeriannya. “Pak Natalius komunikasi publiknya kacau,” ujarnya.
Kinerja sejumlah menteri yang kurang memuaskan ini memicu kemunculan narasi perombakan atau reshuffle kabinet. Meski begitu, menurut Media, acuan 100 hari masa kerja belum dapat menjadi indikator untuk melakukan perombakan kabinet. Media menyebut masa 100 hari atau tiga bulan merupakan masa evaluasi awal sebelum mencapai waktu ideal reshuffle dalam waktu enam bulan masa pemerintahan.
“100 hari pertama adalah masa peringatan bagi menteri yang bermasalah agar mereka dapat lebih baik bekerja ke depannya. Idealnya reshuffle dapat dilakukan dalam waktu enam bulan masa pemerintahan,” kata Media.
Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) pun telah menerbitkan survei tentang kinerja 100 hari masa kerja Pemerintahan Prabowo. Hasil olahan data dari survei terhadap 95 jurnalis itu menggambarkan mayoritas atau 49% responden menilai kinerja 100 hari kabinet Prabowo-Gibran buruk.
Rinciannya, 7% menyatakan sangat buruk dan 42% buruk. Lalu 42% responden menilai kinerja kabinet ini cukup. Sedangkan yang menyatakan baik hanya 8%, tanpa ada yang menjawab sangat baik.
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai dinilai sebagai menteri dengan kinerja terburuk sepanjang 100 hari pertama Kabinet Merah Putih. Ia mendapatkan nilai -113 poin. Posisi berikutnya ditempati Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi yang mendapatkan skor -61 poin.
Disusul Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dengan skor -41 poin. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto bercokol setelahnya.
Tiga Menteri Jadi Sorotan Reshuffle
Direktur Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menyampaikan bahwa peluang reshuffle menteri Kabinet Merah Putih cenderung lebih terbuka dalam waktu dekat apabila relasi antara Prabowo dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri makin menuju ke arah yang lebih harmonis.
“Apabila pertemuan ‘nasi goreng’ itu terjadi, maka harus ada slot menteri yang dikosongkan untuk PDIP,” ujar Agung saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Jumat (31/1).
Agung pun berpendapat ada tiga sosok menteri yang berpotensi terdepak apabila Prabowo melaksanakan pembaharuan kabinet. Tiga figur itu adalah Menteri HAM Natalius Pigai, Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro serta Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
Agung menguraikan alasannya menyoroti tiga menteri tersebut. Dia berpendapat Satryo Soemantri belum dapat menyelesaikan polemik tunjangan kinerja (tukin) dosen ASN yang berada di bawah naungan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi.
Penilaian negatif terhadap Satryo Soemantri juga datang dari persoalannya dengan para ASN di Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. “Baru kali ini ada menteri didemo ASN. Ini sejarah di republik ini, harusnya diganti,” kata Agung.
Selain Satryo Soemantri, Agung juga menjelaskan Pigai menjadi sosok menteri yang layak diganti karena persoalan komunikasi publik yang kerap memancing kontroversi. Sementara Sakti Wahyu Trenggono mendapat sorotan khusus terkait pernyataan yang dianggap pernah menolak pembongkaran pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang.
“Sekarang diberi kartu kuning dulu, tapi kalau tidak ada perubahan dalam enam bulan, ganti,” ujar Agung.