Rekam Jejak SBY dalam Hapus Dwifungsi ABRI Warisan Orde Baru


Kekhawatiran bangkitnya dwifungsi TNI mencuat seusai pemerintah dan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai membahas revisi Undang-Undang UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. DPR pun menempatkan revisi UU TNI masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Konsep dwifungsi TNI pernah berjalan di Indonesia sebelum masa reformasi 1998. Peran militer dalam politik mencapai puncaknya saat prajurit mendapatkan kursi tetap di DPR/MPR melalui fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1970-1998. Selain itu, sejumlah jabatan sipil seperti gubernur hingga bupati diisi oleh perwira militer aktif.
Awal kejatuhan dwifungsi TNI bersamaan dengan jatuhnya Soeharto dari posisi presiden pada 1998. Panglima TNI Wiranto menunjuk Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Tim Reformasi ABRI, nama lain TNI pada masa Orba. Saat itu, SBY masih menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI.
Selama dua tahun menjalankan tugas sebagai Ketua Tim Reformasi ABRI, SBY mengunjungi kampus-kampus dan merumuskan langkah-langkah untuk memisahkan peran militer dari politik praktis. Awal penghapusan dwifungsi ABRI dimulai dari pemisahan TNI dan Polri pada 1999 serta penghapusan peran politik militer.
Pemisahan tersebut memecah fokus kerja TNI pada sektor pertahanan, sementara Polri bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri. Peristiwa tersebut berjalan secara total pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
SBY beberapa waktu lalu menyatakan sikapnya mengenai revisi UU TNI. SBY mengatakan TNI aktif tabu untuk berpolitik. "Waktu saya masih di militer, dalam semangat reformasi, TNI aktif itu tabu untuk memasuki dunia politik, politik praktis,” kata SBY dalam pengarahan kepada 38 Ketua DPD Partai Demokrat di kediamannya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Minggu (23/2/2025).
Khawatir Dwifungsi Muncul Lagi
Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS, Hans Giovanny, menilai bahwa revisi Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memunculkan kekhawatiran akan kembalinya peran ganda tentara.
Revisi Pasal 47 dalam baleid Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah meminta penambahan lima pos sipil yang dapat dijabat oleh prajurit TNI aktif, yakni di kantor yang membidangi kelautan dan perikanan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung.
Rumusan baru ini nantinya bakal memperluas peran prajurit aktif TNI di sejumlah pos sipil. Adapun Pasal 47 ayat 2 UU TNI telah mengatur kompromi kepada prajurit aktif dapat menduduki jabatan di sepuluh pos sipil.
"Ini tentu bertentangan dengan semangat dari reformasi sektor keamanan dari UU TNI itu sendiri," kata Hans lewat pesan singkat WhatsApp pada Selasa (18/3).
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid mengatakan pengangkatan TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil bertentangan dengan sejumlah instrumen hukum yang berlaku saat ini.
Penunjukan prajurit TNI aktif untuk mengisi posisi di lingkungan sipil menyimpang dari Pasal 5 ayat 5 TAP MPR Nomor VII Tentang Peran TNI dan Polri. Aturan tersebut mengatur anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas ketentaraan.
"TAP MPR itu juga tidak memberi kekecualian apa pun mengenai wilayah jabatan sipil yang dapat ditempati oleh anggota TNI aktif. Semuanya dilarang," kata Usman Hamid lewat pesan singkat WhatsApp pada Rabu (12/3).