DPR Soroti Berlarutnya Penanganan Lumpur Lapindo, Akan Bentuk Panja Khusus
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti penanganan lumpur Lapindo yang berlarut-larut. Hal tersebut tercermin dari kembali masuknya program Lumpur Lapindo pada tahun depan senilai Rp 169,22 miliar.
Angka tersebut lebih rendah dari anggaran tahun ini senilai Rp 179 miliar dan tahun lalu sejumlah Rp 227 miliar. Ketua Komisi V DPR, Lasarus mengatakan penganggaran pada tahun depan membuat penanganan lumpur Lapindo telah berusia 20 tahun sejak pertama menyembur pada Mei 2006.
"Penanganan lumpur Lapindo ini memakan anggaran yang besar sekali setiap tahun. Kalau dialokasikan untuk membangun jalan daerah, sudah berapa banyak ruas yang beroperasi?" kata Lasarus dalam rapat kerja bersama Kementerian Pekerjaan Umum, Rabu (9/7).
Karena itu, Lasarus berencana membentuk Panitia Kerja khusus membahas penanganan lumpur Lapindo. Selain itu, legislator berniat meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melaksanakan audit dengan tujuan tertentu terkait penyelesaian lumpur Lapindo.
Lasarus menilai penanganan lumpur Lapindo dapat dilakukan dengan membuat saluran khusus yang mengalirkan lumpur tersebut ke laut. "Pekerjaan pengerukan untuk membuat aliran ke sungai dengan alat berat membuat pompa tidak harus digunakan," katanya.
Dengan demikian, anggaran pengoperasian pompa yang rutin dialokasikan setiap tahun dapat dialihkan untuk memenuhi kewajiban masyarakat terdampak semburan lumpur ini.
Lasarus berpendapat, pemenuhan kewajiban masyarakat terdampak akan lebih baik mengingat penundaan kewajiban tersebut telah memakan korban. Ia merujuk kepada salah satu anggota Komisi IV DPR, Sungkono.
Sungkono merupakan politikus Partai Amanat Rakyat asal Sidoarjo, Jawa Timur. Lasarus mengatakan, penundaan pembayaran kewajiban pada korban lumpur Lapindo telah mengganggu bisnis milik Sungkono.
"Lumpur Lapindo membuat pabrik milik Pak Sungkono sampai tutup dan membuatnya miskin saat ini. Sebab, kewajiban yang dibayarkan pemerintah tidak kunjung dibayarkan," katanya.
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 sudah mengabulkan gugatan aliansi 25 pengusaha korban lumpur lapindo. MK menegaskan bahwa pengusaha yang berada di area semburan lumpur juga termasuk korban yang menerima ganti rugi dari uang negara. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan perlakuan antara korban dari warga perorangan dengan pengusaha.
Berdasarkan estimasi 22 Maret 2007, angka ganti rugi bagi pengusaha yang berada dan masyarakat dalam peta area terdampak mencapai Rp 701,6 miliar. Ini perkiraan kerugian yang dialami oleh 30 pengusaha.
Namun, Kementerian PUPR dalam komentarnya pada 2017 menegaskan bahwa tidak akan memberi dana talangan untuk ganti rugi bagi korban kategori pengusaha. Sebab, perusahaan yang terkena dampak memiliki asuransi yang dapat mengganti kerugian.
