Poin Putusan MK Soal Hak Cipta: Royalti Lagu Dibayar Penyelenggara Pertunjukan
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan musisi atas Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Hal tersebut termaktub dalam Putusan Nomor 28/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan pada sidang hari Rabu (17/12).
Gugatan tersebut disampaikan oleh Armand Maulana, Nazriel Irham (Ariel), serta 27 musisi lainnya. Dalam putusannya, hakim MK memberikan tafsir baru mengenai pihak yang bisa menggunakian ciptaan secara komersial.
MK menyatakan frasa “Setiap Orang” dalam norma Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai “termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial”.
Hakim juga menyatakan frasa “huruf f” dalam norma Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai penerapan restorative justice terlebih dulu.
Tak hanya itu, hakim MK juga menyatakan frasa 'imbalan yang wajar' dalam norma Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta bertentantangan dengan UUD dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
"Sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’,” kata Ketua MK Suhartoyo seperti dikutip dari laman MK, Kamis (18/12).
Royalti Dibayar Penyelenggara Pertunjukan
MK juga memperjelas pihak yang harus membayarkan royalti dalam putusan ini. Hakim Enny Nurbaningsih mengatakan, dalam penalaran yang wajar, keuntungan pertunjukan yang dilakukan secara komersial diketahui oleh pihak penyelenggara pertunjukan.
Oleh sebab itu, penyelenggara yang perlu membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui lembaga manajemen kolektif (LMK).
"Frasa 'setiap orang' dalam Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta harus dimaknai 'termasuk penyelenggara pertunjukan'," kata Enny.
Pengaturan Nilai Royalti
Hakim MK juga menilai, frasa 'imbalan yang wajar' dalam Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta memberikan ketidakpastian hukum mengenai nilai wajar royalti. Oleh sebab itu, perlu penegasan soal parameter tarif yang ditetapkan dalam aturan yang dikeluarkan lembaga atau instansi terkait.
Hakim Enny mengatakan, pembentuk undang-undang perlu segera mengatur royalti yang proporsional serta tak memberatkan pengguna ciptaan. LMK juga wajib berkoordinasi dan menetapkan besaran royalti sesuai kelaziman.
Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 87 ayat (11) UU Hak Cipta tak mempunyai kekuatan hukum secara bersyarat. "Sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’ adalah beralasan menurut hukum," katanya.
Keadilan Restoratif
MK juga memutuskan, pelanggaran hak ekonomi terkait pemegang hak cipta harus mengedepankan sanksi administratif dan perdata ketimbang pidana. Hal ini untuk memberikan pemulihan hingga ganti rugi kepada pihak yang merasa dirugikan.
"Mahkamah menegaskan bahwa penegakan sanksi pidana dimaksud harus dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai bagian dari penerapan prinsip ultimum remedium," demikian penjelasan hakim Enny.
