CEO Prodia dan DOKU Masuk 25 Perempuan Bisnis Berpengaruh di Asia
Forbes merilis 25 Asia's Power Business Women 2020 yang berisi daftar pemimpin perempuan berbagai bidang. Para perempuan ini dinilai mampu menjawab tantangan bisnis selama Covid-19.
Dua perempuan Indonesia masuk dalam daftar itu yakni Presiden Direktur Prodia Widyahusada Dewi Muliaty dan pendiri sekaligus COO Doku Nabilah Alsagoff. Keduanya masuk daftar bersama sejumlah nama lainnya seperti CEO Uniqlo Jepang Maki Akida dan Chairperson HCL Technologies Roshni Nadar Malhotra.
Forbes melaporkan Muliaty tengah menempuh izin apoteker ketika memulai karier di Prodia sebagai asisten manajer pada 1998. Ketika itu Muliaty direkrut profesornya Andi Wijaya yang juga pendiri operator laboratorium klinis terbesar di Indonesia itu.
Dua dekade kemudian dia diangkat menjadi Presiden Direktur dan memimpin ekspansi klinik Prodia secara nasional. Di bawah manajemennya, klinik ini terus ekspansi dari 107 klink pada 2010, bertambah menjadi 285 klinik saat ini dan beroperasi di 127 kota di Indonesia.
Perusahaan meningkatkan pengujian untuk gangguan autoimun dan penyakit lainnya menyumbang hampir seperlima dari pendapatan tahun lalu. Penurunan permintaan layanan pemeriksaan di masa pademi membuat Prodia beralih ke layanan pengujian Covid-19 hingga menyediakan fasilitas drive-thru.
Prodia resmi menjadi laboratorium swasta pertama di Indonesia yang menggunakan alat fully automated Cobas 6800 untuk memperbesar kapasitas pemeriksaan PCR Covid-19. Alat ini sebelumnya digunakan oleh rumah sakit Pertamina dan Lembaga Eijkman.
Penggunaan alat otomatis ini memungkinkan hasil pemeriksaan dikeluarkan pada hari yang sama dari laboratorium rujukan. Turn-Around Time (TAT) hasil pemeriksaan yang lebih cepat akan membantu pengelolaan pasien suspek Covid-19.
Pada semester I 2020, Prodia mencatat pendapatan bersih senilai Rp 657,29 miliar, dengan segmen pelanggan individu dan rujukan dokter menyumbang sekitar 65,7% dari total pendapatan. Sedangkan, segmen referensi pihak ketiga dan klien korporasi menopang sekitar 34,3% terhadap pendapatan.
“Sama halnya dengan bisnis lainnya, kami pun terimbas dengan kinerja keuangan semester I 2020. Perseroan telah mengambil langkah yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan, produktivitas, dan pengendalian biaya," tulis Dewi dalam keterangan resmi dikutip Selasa (15/9).
Sedangkan Nabilah Alsagoff, memulai karir pada 2005 di situs web dewan pariwisata Bali. Pada saat itu, dia melihat bank lokal tidak dapat memproses pembayaran online.
Akhirnya, dia beserta dua temannya mendirikan Nusa Satu Inti Artha yang berbasis di Jakarta, dan melahirkan layanan pembayaran daring bernama Doku (bahasa gaul lokal untuk dompet).
Doku mempelopori transaksi non- tunai di Indonesia, mendahului bank domestik untuk menawarkan layanan dompet elektronik. Pada 2016, grup Elang Mahkota Teknologi (Emtek) membeli saham mayoritas di Nusa Satu. Meski begitu, Nabilah tetap didapuk sebagai chief operating officer Doku.
Di posisi lain, Forbes juga menempatkan CEO Uniqlo Jepang, Maki Akida dalam daftar Asia's Power Business Women 2020. Ia mulai menjajaki karir di Fast Retailing, peretail brand Uniqlo pada 2001.
Karirnya di perusahaan terbilang mulus. Perempuan 41 tahun ini mendapat promosi sebagai manajer toko hanya enam bulan setelah bergabung dengan Fast Retailing,
Dia kemudian menjalankan gerai utama Uniqlo di Shanghai dan Tokyo, serta departemen sumber daya manusia Fast Retailing dan hubungan masyarakat Uniqlo Jepang.
“Yang ingin saya sampaikan kepada para wanita adalah, 'Sadarilah sejak dini bahwa Anda memiliki potensi yang jauh lebih tinggi daripada yang dipikirkan!'”
Kini, Akida dikabarkan berpeluang menjadi salah satu penerus bisnis gerai milik Tadashi Yanai, orang terkaya Jepang yang juga CEO Fast Retailing.
Selain ketiga nama tersebut, Forbes memiliki 23 daftar CEO lain dari berbagai latar belakang industri seperti bioteknologi, teknolog finansial dan edukasi teknologi. Forbes juga menyertakan nama pengusaha dari sektor tradisional seperti retail, logistik, dan hukum ke dalam daftar.
Masing-masing memiliki rekam jejak kesuksesan baik menjalankan perusahaan selama pandemi. Perusahaan memiliki pendapatan yang cukup besar atau mendirikan perusahaan rintisan senilai lebih dari US$ 1 miliar.