Cek Data: Benarkah Warga Yogyakarta Bahagia Walaupun Miskin?
Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta didapuk sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sebanyak 11,49% penduduk di provinsi tersebut tergolong miskin per 2022. Artinya, pengeluaran mereka berada di bawah garis kemiskinan Yogyakarta, yakni Rp551.342 per kapita/bulan.
Kontroversi
Meski menjadi yang termiskin, warga Yogyakarta diklaim bahagia. Bupati Bantul Abdul Halim Muslih, misalnya, mengatakan tidak khawatir Yogyakarta ditetapkan sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa, seperti dikutip dari Harian Jogja. Sebab, warga di provinsi tersebut tetap bahagia.
Berdasarkan data BPS, DI Yogyakarta memiliki Indeks Kebahagiaan sebesar 71,7 pada 2021. Angka itu sedikit lebih besar dari rata-rata nasional yang sebesar 71,49.
Faktanya
Indeks Kebahagiaan Yogyakarta sebetulnya mengalami penurunan. Pada 2014, angkanya yang sebesar 70,77 menempatkan provinsi itu sebagai yang tertinggi di Pulau Jawa atau ke-6 tertinggi di Indonesia. Kemudian, angkanya naik menjadi 72,93 pada 2017. Yogyakarta masih menjadi yang tertinggi di Pulau Jawa, tetapi peringkatnya secara nasional turun ke nomor delapan.
Pada 2021, Indeks Kebahagiaan Yogyakarta turun menjadi 71,7 poin. Nilai indeksnya pun tidak lagi masuk dalam peringkat 10 besar se-Indonesia, bahkan ada di posisi ke-22. Di Pulau Jawa, peringkat Yogyakarta turun ke posisi tiga di bawah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Indeks Kebahagiaan diukur berdasarkan tiga dimensi. Pertama, dimensi kepuasan hidup, yang dibagi lagi menjadi dua subdimensi, yakni kepuasan hidup personal dan sosial. Kedua, dimensi perasaan atau afeksi. Ketiga, dimensi makna hidup.
Dimensi kepuasan hidup mencatatkan nilai paling tinggi dalam Indeks Kebahagiaan Yogyakarta 2021. Angkanya mencapai 74,51, sementara nilainya untuk dimensi perasaan atau afeksi sebesar 67,29 dan dimensi makna hidup sebesar 72,86.
Meski begitu, nilai dimensi kepuasan hidup yang tinggi didongkrak oleh subdimensi kepuasan hidup sosial yang sebesar 79,64. Sedangkan, nilai subdimensi kepuasan hidup personal hanya sebesar 69,38.
Kepuasan hidup sosial mencakup keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial dan keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan. Nilai pada subdimensi ini bisa jadi tinggi karena warga Yogyakarta menerapkan budaya Jawa nrimo.
Menurut Irawanto et al. dalam artikel “Challenge of leading in Javanese Culture” yang dimuat di jurnal Asian Ethnicity (2011), budaya nrimo membuat warga menerima argumen orang lain dengan hormat untuk meminimalisasi terjadinya konflik.
“Ide nrimo ini berkaitan dengan tujuan utama dalam kehidupan masyarakat Jawa, yakni membangun keharmonisan,” tulis mereka.
Selanjutnya, kepuasan hidup personal meliputi pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kesehatan, serta fasilitas rumah. Indikator-indikator pada subdimensi ini bisa diukur dengan data demografi Yogyakarta. Semakin baik data atau pencapaiannya, berarti secara umum semakin bahagia pula warga provinsi ini.
Pendidikan
BPS menjelaskan makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka kian tinggi pula kepuasan hidupnya. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 11,68% penduduk Yogyakarta menempuh pendidikan tinggi per Juni 2021. Persentase itu melampaui angka nasional yang hanya sebesar 6,41%.
Angka melek huruf pada penduduk 15 tahun ke atas di Yogyakarta pun sudah mencapai 95,15% pada 2022. Namun, persentase tersebut lebih rendah dari rata-rata nasional yang sebesar 96,35%, bahkan menjadi provinsi ke-9 terendah di Indonesia.
Kesehatan
Penduduk yang tidak menderita penyakit kronis tercatat memiliki kepuasan hidup lebih baik. Namun, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dirilis Kementerian Kesehatan pada 2018 menunjukkan prevalensi sejumlah penyakit kronis di Yogyakarta termasuk yang tertinggi secara nasional.
Misalnya, prevalensi kanker berdasarkan diagnosis dokter di Yogyakarta sebesar 4,86 per mil, jauh di atas provinsi-provinsi lain yang sekitar 1-2 per mil. Prevalensi diabetes melitus pada penduduk berusia 15 tahun ke atas di provinsi itu juga mencapai 3,1%, hanya kalah dari DKI Jakarta yang sebesar 3,4%.
Kemudian, prevalensi penyakit jantung berdasarkan diagnosis dokter untuk semua umur di Yogyakarta mencapai 2%, lebih tinggi dari prevalensi nasional yang sebesar 1,5%. Angka itu pun cuma lebih rendah dari Kalimantan Utara dengan 2,2%.
Pendapatan
BPS mencatat penduduk dengan pendapatan lebih tinggi umumnya punya Indeks Kebahagiaan lebih besar dibandingkan penduduk dengan pendapatan lebih rendah. Artinya, pendapatan penduduk bisa memengaruhi tingkat kebahagiaannya.
Jika melihat upah minimum provinsi (UMP) pada 2023, angkanya untuk Yogyakarta yang sebesar Rp 1.981.782 menjadi kedua terendah di Pulau Jawa. UMP Yogyakarta hanya lebih tinggi dari Jawa Tengah yang sebesar Rp 1.958.169. Padahal, nilai pengeluaran minimum atau garis kemiskinan Yogyakarta per September 2022, yakni Rp 551.342 per kapita/bulan, menempati posisi ketiga tertinggi di Pulau Jawa.
Karena itu, persentase pengeluaran terhadap pendapatan Yogyakarta menjadi yang tertinggi di Pulau Jawa, yakni 27,8%. Sementara, angkanya di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah ada di kisaran 24%. Persentase pengeluaran terhadap pendapatan Banten sebesar 22,5% dan DKI Jakarta 15,8%.
Sementara, kalau pendapatan rumah tangga hanya berasal dari satu anggota keluarga sebesar UMP Yogyakarta, nilainya tidak mampu mencukupi pengeluaran rumah tangga miskin setiap bulan. Data BPS menyebutkan garis kemiskinan setiap rumah tangga miskin Yogyakarta sebesar Rp 2.315.636 per bulan pada kuartal III-2022.
Sejumlah faktor dalam Indeks Kebahagiaan di Yogyakarta mencatatkan angka lebih buruk dari rata-rata nasional. Bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga pendidikan dan kesehatan. Meski pengaruh tiap faktor terhadap kebahagiaan seseorang tidak bisa diukur secara kuantitatif, klaim bahwa warga di provinsi ini “walau miskin, tetapi bahagia” pun tidak sepenuhnya terbukti.
Referensi
Badan Pusat Statistik. (2021). Indeks Kebahagiaan 2021. (Akses 26 Januari 2023)
Badan Pusat Statistik. (2023). Profil Kemiskinan di Indonesia September 2022. (Akses 26 Januari 2023)
Irawanto, D. W., Ramsey, P. L., & Ryan, J. C. (2011). “Challenge of leading in Javanese culture”. Asian Ethnicity, 12(2), 125-139. (Akses 26 Januari 2023)
Kementerian Kesehatan. (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018. (Akses 26 Januari 2023)
---------------
Jika Anda memiliki pertanyaan atau informasi yang ingin kami periksa datanya, sampaikan melalui email: cekdata@katadata.co.id.