Viral Aplikasi MyHeritage dan Nasib Pembahasan RUU Perlindungan Data
Belakangan ini, aplikasi MyHeritage ramai digunakan oleh warganet Indonesia untuk membuat foto orang yang sudah meninggal terlihat lebih hidup. Ahli informasi dan teknologi mengingatkan pengguna untuk berhati-hati, terlebih belum ada Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
MyHeritage menggunakan teknologi deepfake, yang memungkinkan pengguna mengubah foto menjadi Graphics Interchange Format atau GIF sehingga bisa bergerak. Kualitas dan warna gambar pun bisa diubah.
Berdasarkan keterangan di Google Play Store, aplikasi tersebut dikembangkan oleh MyHeritage. Platform ini diunduh lebih dari 10 juta kali di perangkat Android.
Aplikasi tersebut menimbulkan kontroversi karena ada kekhawatiran penggunaan data pribadi untuk tindak kejahatan. “Mereka mengumpulkan data wajah pemakai, dan kita tidak pernah tahu itu digunakan untuk apa?” ujar Peneliti keamanan siber dari Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha kepada Katadata.co.id, Jumat (12/3).
Selain itu, menurutnya belum ada teknologi yang bisa mendeteksi video berbasis deepfake. Deepfakes merupakan salah satu hasil dari teknologi kecerdasan buatan atau artificial antelligence (AI). Dengan deep learning, AI mampu menghasilkan pembelajaran yang berujung pada produk video maupun suara palsu.
Pratama mencontohkan aplikasi Clearview yang mengumpulkan banyak wajah dari berbagai platform di dunia siber. Pengembang diketahui menjual data biometrik pengguna kepada klien, yang beberapa di antaranya bukan lembaga penegak hukum.
“Ancaman deepfakes terutama video palsu yang menambah bahaya hoaks harus diwaspadai sejak awal,” kata Pratama. “Untuk para pejabat juga jangan memakai aplikasi deepfake seperti Faceapp dan semacamnya, karena bisa dipakai untuk membuat hoaks.”
Nasib Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi
Ia pun menyoroti pentingnya RUU PDP di tengah perkembangan aplikasi deepfake. Regulasi ini dibutuhkan supaya ada landasan hukum jika data pengguna di Indonesia disalahgunakan oleh aplikasi yang memiliki server di luar negeri.
“Kuncinya memang di perlindungan data. Banyak negara, terutama di Eropa yang sangat ketat tentang penghimpunan, pengolahan dan penyebaran data. Ini karena implikasinya bisa kemana-mana terutama kejahatan siber,” katanya.
Pemerintah dan DPR pun tengah membahas RUU PDP sejak tahun lalu. Sebelumnya, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani menyampaikan bahwa kemungkinan regulasi tersebut dapat terbit pada kuartal pertama 2021.
Katadata.co.id meminta konfirmasi kepada juru bicara Kementerian Kominfo Dedi Permadi terkait perkembangan pembahasan RUU PDP. Namun, belum ada tanggapan hingga berita ini dirilis.
Sedangkan Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi menyampaikan, pembahasan RUU PDP ditarget selesai pada masa sidang ini. “Setelah ada beberapa hal penting yang disepakati, seperti pembentukan badan pengawas independen dan lainnya,” ujar dia kepada Katadata.co.id.
Ia menjelaskan, pembahasan terkait substansi mendasar tidak banyak. Lamanya pembahasan lebih karena banyaknya pasal yang dikaji, seperti hak warga negara dan kewajiban pengendali data, sanksi, dan lainnya.
“Bila sudah ada kesepakatan pada pasal-pasal tersebut, teknis legal drafting dan sinkronisasi, serta harmonisasi, maka tidak akan lama seharusnya,” kata Bobby.
Badan Legislasi ( Baleg) DPR juga sudah menetapkan 33 RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. RUU PDP termasuk di dalamnya.