Agate Ungkap Empat Tantangan Bangun Bisnis Gim di Indonesia
Industri gim Indonesia tumbuh hingga 20% pada awal pandemi corona. Namun, pengembang game online Tanah Air, Agate menilai ada empat persoalan yang harus dihadapi oleh perusahaan di sektor ini.
Pertama, masyarakat lebih memilih game buatan luar negeri. “Pangsa pasar gim lokal hanya 0,4%,” kata CEO Agate Arief dalam acara Next Gen Summit 2021, Selasa (6/4).
Sedangkan pangsa pasar gim Tiongkok mencapai 68% di Nusantara. Game online asal Negeri Panda seperti PUBG, Game for Peace, Clash of Clans, dan lainnya.
Hal tersebut membuat investasi gim Tanah Air rendah. Dalam setahun hanya US$ 2 juta. Sedangkan di Vietnam bisa mencapai US$ 50 juta.
Masalah kedua, persaingan yang ketat. Dalam sebulan, ada 30 ribu gim baru yang rilis secara global. “Persaingan langsung dengan pemain global seperti Tencent dari Tiongkok," ujarnya.
Ketiga, tingginya ongkos iklan. Arief mengatakan, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyasar pengguna baru rerata meningkat 20%-30% per tahun. “Biaya iklan semakin mahal,” kata dia.
Terakhir, tuntutan biaya produksi yang mahal. Sebab, ekspektasi pengguna terus meningkat dan mengharapkan kualitas gim yang bagus.
"Mereka akan melihat gambar yang bagus seperti menonton superhero di film. Itu membuat biaya produksi menjadi mahal," katanya.
Arief mengatakan, pengembang gim lokal harus menghadapi keempat persoalan itu di tengah tingginya potensi pasar. Saat ini, Agate menggaet tujuh juta pengguna, dan 110 mitra untuk lini Business to Business (B2B).
Agate berdiri pada 2009 dan berbasis di Bandung. Beberapa gim besutan Agate yakni Valthirian Arc: Hero School Story, Memories, Dungeon Chef dan lainnya.
Di sisi lain, industri gim di Indonesia tumbuh 10-20% pada awal pandemi. Angka ini berdasarkan catatan Asosiasi Gim Indonesia (AGI).
"Bagi pemilik gim, itu naik 10-20%,” kata Plt Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Josua Simanjuntak dalam diskusi bertajuk Kick Off Collabonation Silaturahmi Kreatif’ secara virtual, tahun lalu (28/4/2020).
Namun, ia juga menyampaikan bahwa transaksi tidak serta merta naik meski permintaan melonjak saat pandemi Covid-19. Salah satu penghambatnya yakni infrastruktur yang belum memadai.
"Infrastruktur kita belum memungkinkan transfer data yang besar. Dari mereka juga ada permintaan untuk dibantu dari sisi infrastruktur," ujarnya.