Penyebab Pedagang Tanah Abang Jualan Online tapi Sepi Penonton
Viral di media sosial pedagang Tanah Abang berjualan online, tetapi sepi penonton saat live streaming. Peneliti dan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pun mengungkapkan alasannya.
Pakar Marketing dan Managing Partner Inventure Yuswohady mengatakan, pedagang offline termasuk di Tanah Abang mau tidak mau harus mengikuti tren. Salah satu promosi yang sedang populer yakni berjualan secara live streaming.
“Kalau tidak adopsi social commerce, dia (pedagang) akan mati. Harus hybrid, antara offline dan online,” kata Yuswohady dalam acara Polemik bertajuk ‘Nasib UMKM di Tengah Gemerlap Social Commerce’, Sabtu (16/9).
Saat berjualan online, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pedagang, di antaranya:
- Kualitas
- Harga
- Nilai produk
- Algoritme aplikasi
Algoritme disusun oleh platform seperti Shopee, TikTok, Tokopedia, Lazada dan lainnya. “Kita (pedagang) tidak bisa mengatur. Sementara algoritme memengaruhi mana yang diuntungkan dan dirugikan,” ujar Yuswohady.
Untung dan rugi yang dimaksud yakni bagaimana algoritme membuat live streaming atau produk pedagang muncul di halaman depan platform. Dengan begitu, lebih mudah dilihat oleh konsumen.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengatur platform digital seperti Shopee, TikTok, Lazada hingga Tokopedia dalam menggunakan algoritme supaya tidak merugikan UMKM.
Dari sisi pedagang, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan visibilitas toko dan produk di platform e-commerce dan social commerce, di antaranya:
- Membangun keterikatan dengan konsumen guna meningkatkan jumlah pengikut toko di platform e-commerce dan social commerce
- Penjual harus dikenal warganet
- Membangun brand
“Pemerintah harus memberikan pelatihan kepada pedagang di Tanah Abang supaya bisa berjualan di platform e-commerce dan social commerce dalam skala yang lebih besar,” ujarnya.
Sementara Peneliti Institute for Development of Economics dan Finance atau INDEF Nailul Huda menyampaikan, ada beberapa hal yang membuat live streaming pedagang Tanah Abang di platform e-commerce dan social commerce sepi penonton, yakni:
- Penjual Tanah Abang merupakan reseller, yang mencari untung dengan mengenakan harga lebih tinggi ketimbang tingkat produsen. Sementara produsen juga melakukan live streaming, dengan harga lebih murah ketimbang reseller.
- Reseller yang menjual produk impor dari Cina relatif banyak di platform e-commerce dan social commerce. Harga yang dijual lebih murah.
Oleh karena itu, menurutnya pemerintah perlu mengatur masuknya barang impor. Selain itu, bisa meniru cara India mengatur produsen yang ingin berjualan langsung di platform e-commerce dan social commerce.
Sementara Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menilai UMKM Indonesia tak didukung rantai pasok yang mumpuni dan berbasis teknologi. Padahal seingatnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah lama mengingatkan kementerian dan swasta untuk mengadopsi teknologi seperti kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) guna menggenjot produksi.
“Tidak ada yang mewujudkan bagaimana teknologi digital diaplikasikan ke sistem produksi nasional, industri manufaktur, pertanian, agro maritim, kesehatan dan lainnya,” ujar Teten kepada Katadata.co.id, Sabtu (16/9).
Alhasil, produksi nasional kalah dibandingkan produk impor yang lebih murah karena produksinya lebih efisien dan berkualitas.
“Akibatnya transformasi digital di Indonesia tidak melahirkan ekonomi baru, hanya membunuh ekonomi lama. Kue ekonomi tidak bertambah, tapi faktor pembaginya semakin banyak,” Teten menambahkan.
Ia mencontohkan pasar offline seperti Tanah Abang. Pedagang di pasar ini ikut berjualan online, tetapi tetap kalah dengan produk impor. “Hampir 80% penjual di platform online menjual produk impor, terutama dari Cina,” ujar dia.
Terlebih lagi, perekonomian Cina sedang melemah. Ia menduga produksi barang konsumsi yang kelebihan pasokan di Tiongkok, mulai dijual ke ASEAN.
“Indonesia pasarnya besar dan hampir separuh populasi masuk ke e-commerce,” kata Teten. Belum lagi, tarif bea masuk dinilai terlalu murah.
“Babak belur kita,” Teten menambahkan. “Jangankan UMKM, produk industri manufaktur pun tidak bisa bersaing, terutama produk garmen, kosmetik, sepatu olahraga, farmasi dan lainnya.”