Pasar Tanah Abang dan ITC Sepi, Pedagang Bersiasat Live Streaming
Perdagangan di Pasar Tanah Abang dan ITC Permata Hijau sepi meskipun pandemi Covid-19 telah reda. Menyiasati penjualan yang rendah, beberapa pedagang beralih jualan live streaming untuk menutupi biaya operasional toko.
Pemilik toko pakaian wanita Nara Fashion Nadya (22 tahun) di Pasar Tanah Abang Blok B mengatakan dirinya sudah berjualan live streaming sejak enam bulan lalu. Ia memutuskan untuk berjualan online karena penjualan di tokonya sepi.
"Saya mencoba live, setidaknya mencari pelanggan baru biar jadi pelanggan," kata Nadya kepada Katadata.co.id, Jumat (15/9).
Nadya menangguk omset empat kali lipat sejak berjualan live streaming di TikTok. Dia mengatakan penjualan offline di tokonya hanya sekitar Rp 500 ribu. Sedangkan hasil penjualan melalui live streaming TikTok bisa menjual 20-30 barang atau sekitar Rp 2 juta- Rp 3 juta per hari.
Meskipun saat tidak live streaming, transaksi pun terus berjalan. "Kalau enggak live, paling ada yang checkout 5-10 pcs," ujarnya.
Ia menyampaikan hasil penjualan dari live streaming sangat lumayan. Sebelum mulai berjualan live, penghasilan dari dagang di Tanah Abang tidak cukup untuk operasional seperti gaji karyawan, sewa toko, dan biaya lainnya.
Ia pun menyatakan berencana menutup toko jika penjualan di toko sepi terus menerus dan putaran pendapatan tidak sesuai dengan pengeluaran. "Mending mencari tempat buat berjualan live streaming," ujar dia.
Pemilik toko jam Regent Arloji di ITC Permata Hijau, Jovian (23 tahun), juga berjualan live streaming sekitar enam bulan di TikTok Shop. Seperti halnya Nadya, dia menyiasati penjualan offline yang sepi.
"Namanya juga zaman sudah berubah ya, jadi kami melihat peluang, memang lagi happening lagi tren live di sana," kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (14/9).
Ia menyampaikan penjualan turun sejak dua tahun lalu atau saat pandemi. Ia mengatakan ada penjualan barang setiap harinya melalui live di TikTok Shop.
"Sekarang kalau di toko, keluar dua barang aja sudah syukur," kata Jovian. Sedangkan, di TikTok setiap hari sudah pasti kirim minimal 2-3 barang.
Pakar Marketing dan Managing Partner Inventure Yuswohady mengatakan, pedagang offline termasuk di Tanah Abang mau tidak mau harus mengikuti tren. Salah satu promosi yang sedang populer yakni berjualan secara live streaming.
“Kalau tidak adopsi social commerce, dia (pedagang) akan mati. Harus hybrid, antara offline dan online,” kata Yuswohady dalam acara Polemik bertajuk ‘Nasib UMKM di Tengah Gemerlap Social Commerce’, Sabtu (16/9).
Menteri Teten: Perlu Transformasi Digital
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyoroti belum ada strategi nasional yang perlu disiapkan dalam proses transformasi digital mulai dari produksi hingga promosi.
Ia menjelaskan, transformasi digital di Indonesia hanya berkembang di sektor perdagangan yakni e-commerce. “Bukan di sektor produksi,” Teten menambahkan.
UMKM Indonesia tak didukung rantai pasok yang mumpuni dan berbasis teknologi. Padahal seingatnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah lama mengingatkan kementerian dan swasta untuk mengadopsi teknologi seperti kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) guna menggenjot produksi.
“Tidak ada yang mewujudkan bagaimana teknologi digital diaplikasikan ke sistem produksi nasional, industri manufaktur, pertanian, agro maritim, kesehatan dan lainnya,” ujar Teten.
Alhasil, produksi nasional kalah dibandingkan produk impor yang lebih murah karena produksinya lebih efisien dan berkualitas.
“Akibatnya transformasi digital di Indonesia tidak melahirkan ekonomi baru, hanya membunuh ekonomi lama. Kue ekonomi tidak bertambah, tapi faktor pembaginya semakin banyak,” Teten menambahkan.
Ia mencontohkan pasar offline seperti Tanah Abang. Pedagang di pasar ini ikut berjualan online, tetapi tetap kalah dengan produk impor. “Hampir 80% penjual di platform online menjual produk impor, terutama dari Cina,” ujar dia.
Terlebih lagi, perekonomian Cina sedang melemah. Ia menduga produksi barang konsumsi yang kelebihan pasokan di Tiongkok, mulai dijual ke ASEAN.
“Indonesia pasarnya besar dan hampir separuh populasi masuk ke e-commerce,” kata Teten. Belum lagi, tarif bea masuk dinilai terlalu murah.
“Babak belur kita,” Teten menambahkan. “Jangankan UMKM, produk industri manufaktur pun tidak bisa bersaing, terutama produk garmen, kosmetik, sepatu olahraga, farmasi dan lainnya.”
Di satu sisi, menurutnya sudah terlambat untuk mengatur platform e-commerce dan social commerce. “Akibatnya Indonesia didikte platform digital global,” katanya.
Sementara untuk mengatasi permasalahan tersebut, menurutnya melibatkan banyak kebijakan, termasuk investasi, perdagangan, dan standardisasi produk.