Alibaba dan TikTok Shop Asal Cina Kuasai Pasar Belanja Online Asia Tenggara
Alibaba dan TikTok Shop milik ByteDance menguasai pasar e-commerce di beberapa negara Asia Tenggara, menurut laporan Bain and Company.
Temuan itu muncul saat perusahaan-perusahaan Cina mempercepat ekspansi global, di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri, dan meskipun meningkatnya ketegangan perdagangan Amerika Serikat - Tiongkok.
“Jauh dari terkena dampak tarif impor, e-commerce global Cina justru memasuki fase baru,” demikian isi laporan Bain and Company pada Kamis (30/10), dikutip dari CNBC Internasional, Sabtu (1/11).
Hanya dalam kurun waktu setahun, perusahaan rintisan teknologi finansial FundPark memfasilitasi pinjaman US$ 3 miliar kepada usaha kecil Cina untuk e-commerce luar negeri. “Sebelumnya perusahaan ini membutuhkan waktu enam tahun untuk meminjamkan jumlah yang sama,” kata salah satu pendiri sekaligus CEO FundPark Anson Suen.
Para penulis laporan mencatat bahwa sejauh ini para penjual Cina cenderung berkinerja lebih baik di pasar dengan daya beli online yang lebih rendah.
Tahun ini, Bain mencatat Taobao milik Alibaba memperluas promosi belanja Hari Jomblo atau 11.11 ke 20 wilayah dan/atau negara. Perusahaan mengumumkan promosi 11.11 dalam bahasa selain bahasa Mandarin pertama di dunia, yakni di Malaysia, tepatnya dalam bahasa Inggris.
Divisi internasional Alibaba yang disebut ‘International Digital Commerce Group’ melaporkan pertumbuhan pendapatan 19% secara tahunan alias year on year (yoy) menjadi 34,74 miliar yuan atau Rp 81,19 triliun (kurs Rp 2.337 per yuan) pada kuartal II.
Jumlah itu sedikit lebih besar daripada yang dihasilkan oleh unit komputasi awan alias cloud perusahaan, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan pendapatan bisnis e-commerce Alibaba di Cina sebesar 140,07 miliar yuan atau tumbuh 10%.
“Sebagian keberhasilan perusahaan e-commerce Cina berasal dari pelajaran yang dipelajari di pasar dalam negeri mereka yang mengintegrasikan fitur live streaming, inovasi produk yang cepat, dan logistik yang cepat,” demikian isi laporan Bain & Company.
Dengan nilai penjualan kotor atau Gross Merchandise Value (GMV) US$ 2,32 miliar tahun lalu, pasar e-commerce Cina lebih dari dua kali lipat ukuran AS US$ 1,05 miliar. GMV adalah ukuran penjualan di platform e-commerce selama periode waktu tertentu.
Rinciannya dapat dilihat pada Bagan di bawah ini:
Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan pasar terbesar dengan GMV e-commerce US$ 62 miliar tahun lalu. Disusul Thailand dan Vietnam masing-masing US$ 30 miliar. Lalu, Filipina US$ 20 miliar dan Singapura US$ 8,55 miliar.
Bain menunjukkan bahwa di Singapura, Lazada milik Alibaba telah kehilangan pangsa pasarnya terhadap perusahaan lokal Shopee, sementara Amazon dan Walmart masih mendominasi di AS.
Sementara PDD, Alibaba, dan ByteDance membagi sebagian besar pasar Cina, AS memiliki cerita yang jauh berbeda, dengan data Bain menunjukkan bahwa pelaku e-commerce non-Cina menguasai hampir 95% pasar.
Raksasa e-commerce AS juga memiliki kehadiran internasional yang besar.
Amazon melaporkan penjualan bersih di Amerika Utara US$ 100,1 miliar pada kuartal II, sementara penjualan internasional mencapai US$ 36,76 miliar. Ini berarti raksasa e-commerce AS ini masih menghasilkan penjualan bersih lebih besar daripada Alibaba, baik di dalam maupun luar negeri.
Walmart melaporkan penjualan online di AS US$ 23,7 miliar pada kuartal II, dan US$ 8,3 miliar di luar negeri atau naik 22% yoy, menurut perhitungan CNBC Internasional.
