OJK Temukan Indikasi Debitur P2P Lending yang Sengaja Tak Mau Bayar
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menemukan indikasi ada debitur nakal yang sengaja meminjam uang melalui perusahaan jasa teknologi finansial (tekfin) peer to peer lending namun tidak berniat untuk mengembalikan uang tersebut. Debitur nakal ini memiliki pinjaman kepada 10-19 perusahaan P2P lending.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, dari laporan korban pinjaman online terungkap ada debitur yang meminjam kepada 10 hingga 19 perusahaan P2P lending. Indikasi tidak berniat membayar juga tercium dari debitur yang meminjam melalui tekfin ilegal, tidak terdaftar di OJK.
"Bahasa sederhananya, ada yang pinjam tapi sengaja mengemplang 19 fintech lending ilegal. Jadi, ini adalah tempat pertemuan mereka yang berkarakter buruk dan melakukan transaksi online," kata Hendrikus, di kantornya, Jakarta, Selasa (13/11).
Hal serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko pada kesempatan yang sama. Dia prihatin dengan adanya indikasi tersebut. Sunu menilai, profil debitur nakal ini adalah profil debitur yang diragukan karateristiknya.
Debitur-debitur nakal ini tidak berusaha menyelesaikan masalah pinjamannya kepada P2P lending ilegal lalu melapor kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH). "Kemudian mereka membuat ribut, berisik. Karakteristik orang ini tidak baik," katanya.
Sunu khawatir, kehadiran debitur-debitur nakal yang meminjam ke P2P lending ilegal bisa menimbulkan stigma negatif kepada industri P2P lending yang legal dan terdaftar di OJK. Pasalnya, mereka tengah menata industri tekfin P2P lending ini dengan baik, tapi pemberitaan banyak menyorot kejelekan tekfin karena oknum-oknum ini.
"Berita negatif itu tidak terjadi di asosiasi AFPI. Kami memastikan, anggota kami jangan sampai melanggar. Jaminannya adalah reputasi kita," kata Sunu.
Ia menegaskan, anggota AFPI yang menagih debitur harus memiliki sertifikat. Jika bekerja sama dengan pihak ketiga, agennya harus tersertifikasi. Untuk tekfin ilegal, Sunu menyerahkan penindakannya kepada penegak hukum agar dibasmi.
Namun, pemberantasan tekfin ilegal ini penuh tantangan karena dengan cepat mereka bermunculan kembali. Sunu mengibaratkan, tekfin ilegal seperti rumput yang dipotong tapi tidak mencabut akarnya, sehingga terus tumbuh.
(Baca: Asosiasi Sebut Pelaku yang Dilaporkan ke LBH adalah Fintech Ilegal)
Ciri-ciri Fintech Ilegal
Hendrikus mengatakan, ciri-ciri tekfin ilegal antara lain tidak memiliki alamat perusahaan yang jelas sehingga ketika dilaporkan, pihak berwajib akan kesulitan mencari alamat aslinya. Data perusahaan lainnya juga dipalsukan.
Ciri-ciri lainnya, perusahaan dengan mudahnya menyalurkan pinjaman kepada debitur. Padahal, tekfin yang legal tidak semudah itu memproses pencairan dana karena harus memperlihatkan slip gaji, alamat kantor, ataupun jenis pekerjaan debitur. "Sangat mudahnya memberikan pinjaman ini yang menggiurkan," kata Hendrikus.
Ciri lainnya, yaitu besaran bunga yang diberikan kepada debitur di mana tidak ada batasannya. Padahal, seharusnya bunga pinjaman memiliki batasan maksimal sebesar 100% dalam jangka waktu 90 hari. Adapun bunga pinjaman tekfin ilegal, tidak memiliki batasan maksimal dan akan terus naik.
(Baca: OJK Prediksi Penyaluran Kredit Fintech Lampaui Rp 20 Triliun Tahun Ini)