Lindungi Konsumen, OJK Siapkan Aturan Inovasi Keuangan Digital
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera menerbitkan Peraturan OJK tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD) yang akan mengatur perlindungan bagi konsumen atau nasabah perusahaan-perusahaan teknologi finansial (fintech). OJK juga bakal membentuk lembaga khusus untuk menangani mediasi jika terjadi perselisihan antara perusahaan teknologi finansial dan konsumennya.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida mengatakan, POJK mengenai IKD merupakan bagian dari Paket Kebijakan Agustus 2018. Ada beberapa poin yang digarisbawahi dalam POJK tersebut khususnya soal perlindungan data nasabah. "IKD harus punya sistem yang andal untuk melindungi data nasabahnya. Mereka juga wajib memantau sistem secara mandiri dan melakukan manajemen risiko yang memenuhi prinsip kehati-hatian," kata Nurhaida dalam konferensi pers, di Jakarta, Rabu (15/8).
Keandalan sistem yang dimaksud OJK adalah kemampuan sistem penyelenggara layanan fintech untuk menghadapi ancaman siber. Penggunaan data nasabah oleh penyelenggara fintech juga harus mendapatkan persetujuan dari nasabah. Selain itu, OJK juga menyiapkan ketentuan khusus untuk mengantisipasi praktik pencucian uang (money laundering) yang memanfaatkan perusahaan teknologi finansial.
Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara mengatakan, aspek perlindungan konsumen untuk industri fintech sebagian sudah diatur di dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi. Ada lima prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah perusahaan teknologi finansial, antara lain soal transparansi, manfaat, biaya, jenis produk, dan konfirmasi persetujuan konsumen atas produk tersebut. Dia mencontohkan, untuk produk pinjaman dari perusahaan fintech peer to peer lending, perusahaan harus menyediakan fitur atau menu simulasi untuk menghitung bunga atau jumlah cicilan yang harus dibayar nasabah.
(Baca: Beda Aturan Fintech dan Industri Keuangan Konvensional)
Pengaduan Konsumen
Tirta mengatakan, ketentuan yang sudah ada di dalam POJK Nomor 77/2016 tersebut ditambah dengan prosedur mengenai penyelesaian perselisihan (dispute resolution). "Setiap perusahaan fintech harus mempunyai unit penanganan pengaduan konsumen di lapis pertama," ujar Tirta. Jika perselisihan tidak dapat diselesaikan oleh perusahaan penyelenggara layanan fintech, permasalahan akan diteruskan kepada Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech). Hal ini bertujuan untuk mendorong peran asosiasi dalam perlindungan konsumen.
Jika permasalahan tersebut belum juga menemukan titik temu, OJK akan menjadi lapis ketiga untuk pengaduan masalah tersebut. "Kalau di perbankan dan asuransi sudah ada lembaga khusus yang melakukan mediasi untuk dispute resolution. Ke depan, ada lembaga alternatif untuk memediasi perselisihan fintech dan konsumennya," kata Tirta.
Untuk terus mendorong perkembangan perusahaan-perusahaan teknologi finansial di Indonesia, OJK akan mendirikan Fintech Center. Nurhaida mengatakan, Fintech Center berfungsi untuk membangun ekosistem fintech yang bermanfaat bagi masyarakat. Di Fintech Center, perusahaan-perusahaan rintisan dapat berdiskusi, bersinergi dengan para pelaku industri fintech, dan menguji model bisnisnya lewat regulatory sandbox.
(Baca: Fintech Bisa Garap 35 Juta Orang dari Target Inklusi Keuangan)