Gojek dan Grab Jadi Tolok Ukur, Startup RI di Mata Investor Berubah
Gojek dan Grab yang sudah mencatatkan saham perdana alias initial public offering (IPO) dinilai sebagai tolok ukur startup di Asia Tenggara. Pandangan investor terhadap perusahaan rintisan di regional pun disebut berubah.
Berdasarkan laporan SE Asia Deal Review: Q1 2023, pendanaan ke startup di Asia Tenggara US$ 2,08 miliar selama Januari – Maret. Nilainya turun 25% qtq dan 52% yoy.
“Hasilnya sama dengan kuartal II 2020, ketika pembatasan sosial dan perjalanan akibat Covid-19 menghambat kesepakatan pendanaan,” demikian dikutip dari DealStreetAsia, Kamis (27/4).
Ada 195 kesepakatan pendanaan ke startup sepanjang Januari – Maret. Jumlahnya turun 37% yoy.
Sedangkan porsi nilai pendanaan ke startup per negara sebagai berikut:
- Singapura: 46% atau US$ 956,8 juta
- Thailand: 25,5% atau US$ 530,4 juta
- Indonesia: 20,8% atau US$ 432,64 juta, sekitar Rp 6,36 triliun (kurs Rp 14.711 per US$ pada 27 April)
- Vietnam: 4,6% atau US$ 95,68 juta
- Filipina: 2% atau US$ 41,6 juta
- Malaysia: 1,1% atau US$ 22,88 juta
“Thailand mengalami peningkatan pendanaan yang signifikan, dengan startup mengumpulkan lebih dari setengah miliar dolar. Ini menandai pertama kalinya Thailand mengungguli Indonesia dalam perolehan dana startup,” demikian dikutip.
Managing Partner AC Ventures Helen Wong menilai, Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan akan melihat perubahan haluan yang positif begitu raksasa teknologi yang sudah IPO mencapai target profitabilitas.
“Di Asia Tenggara, saham Gojek dan Grab jatuh ke level terendah baru. Ini tidak mengherankan sebab mereka menjadi tolok ukur industri,” kata Heleng Wong. Begitu juga dengan pendanaan ke startup Asia Tenggara pada kuartal I.
Namun startup berbagi tumpangan alias ride-hailing seperti Gojek dan Grab telah mempercepat target untuk meraup untung. Begitu pun induk Shopee, Sea Ltd.
“Kami berharap sentimen membaik setelah mereka mencapai profitabilitas," ujar Helen Wong.
Co-founder dan managing partner firma modal ventura TNB Aura yang berfokus di Asia Tenggara, Charles Wong melihat penurunan nilai pendanaan ke startup sebagai cerminan dari standar yang lebih tinggi di mata investor.
"Lewatlah sudah tahun-tahun 'transfer nilai' yang tidak berkelanjutan dari satu pemangku kepentingan ke pemangku kepentingan berikutnya, melalui diskon dan promosi berlebihan,” kata Charles Wong.
“Jika perusahaan tidak menghasilkan langkah perubahan dalam hal nilai untuk ekosistem, maka mereka tidak berhak untuk mengekstraksi nilai apa pun," tambah dia.
Partner InnoVen Capital SEA Paul Ong mengatakan, perusahaannya tidak meminta startup untuk meraup untung dalam tiga atau lima bulan. Tetapi, "dapat tumbuh berkelanjutan," katanya dalam acara Indonesia PE-VC Summit yang digelar oleh DealStreetAsia di Hotel Langham, Jakarta, pada Januari (12/1).
Investor juga memantau bagaimana startup berfokus pada model bisnis. Selain itu, menginginkan pendiri perusahaan rintisan memahami operasional perusahaan dan segmen pasar yang dibidik.
CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, startup harus berfokus pada inti bisnis dan rencana bisnis. Ia juga mengkaji bagaimana pendiri perusahaan rintisan mengatasi tantangan minimnya pendanaan.
Menurutnya, jika perusahaan dan kompetitor tidak lagi mendapat pendanaan, maka startup harus menggaet yang lebih banyak pasar.
Jika mendapat pendanaan, maka "harus berfokus pada layanan guna menggenjot bisnis," kata dia.
Ia menyampaikan, perusahaan tertarik pada startup yang untung dan memiliki runway yang panjang. Dalam konteks startup, runway mengacu pada berapa lama perusahaan dapat bertahan di pasar, jika pendapatan dan pengeluaran konstan.
"Kalau tidak punya itu, setidaknya harus memperlihatkan gross income profit yang positif," kata dia. Maksudnya, hal yang dapat dilakukan untuk untung.