Investor Asing Diramal Makin Ragu Suntik Startup Indonesia Setelah IHSG Rontok


IHSG atau Indeks Harga Saham Gabungan rontok pada perdagangan Selasa (18/3). Hal ini dinilai akan menjadi pertimbangan investor asing sebelum berinvestasi di startup Indonesia.
Indeks ditutup turun 3,84% ke level 6.223 pada perdagangan Selasa (18/3). IHSG bahkan sempat menyentuh titik terendah ke level 6.017 atau melemah 7,01% pada perdagangan intraday.
Bursa Efek Indonesia atau BEI bahkan melakukan penghentian sementara perdagangan atau trading halt pada perdagangan Selasa (18/3), menjaga stabilitas pasar di tengah tekanan jual yang signifikan.
“Tentunya penurunan harga saham menjadi salah satu tolok ukur pelemahan ekonomi Indonesia. Ini sudah menambah kekhawatiran investor global, termasuk di bidang startup, yang kami semua harapkan mau kembali melirik perusahaan rintisan Indonesia,” kata CEO MDI Ventures Donald Wihardja kepada Katadata.co.id, Selasa malam (18/3).
"Kekhawatiran ini tentunya akan menambah panjang tech funding winter di Indonesia, karena investor internasional tetap enggan berinvestasi di Tanah Air,” Donald menambahkan.
Laporan DealStreetAsia menunjukkan jumlah kesepakatan pendanaan startup di Indonesia turun 34% secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi 85. Nilai investasinya juga turun 66% menjadi US$ 437,8 juta atau Rp 7,23 triliun (kurs Rp 16.520 per US$).
Penurunan tersebut merupakan yang terbesar di enam negara di Asia Tenggara yang diteliti.
Di tengah situasi tersebut dan melorotnya IHSG, menurut Donald, pemerintah, investor, pendiri startup hingga media perlu membangkitkan kepercayaan investor. Asosiasi Modal Ventura Indonesia atau Amvesindo, di Singapura alias SVCA, dan dari wilayah lainnya di Asia Tenggara sedang menyiapkan dokumen himbauan governance maturity.
“Ini bukan Jalan pintas, tapi komitmen jangka panjang untuk bersama-sama menjadi lebih baik. Harapannya, dengan ini, kami bisa memulihkan kepercayaan dunia lebih cepat, sekaligus membangun bisnis yang lebih berkelanjutan,” ujar Donald.
Sementara itu, General Partner di Braxon Capital Pte Ltd Edward Ismawan menyampaikan investor publik dan privat berbeda dalam hal pertimbangan investasi.
Dikutip dari Equityzen, investor privat berinvestasi dalam sekuritas yang tidak diperdagangkan secara publik, seperti saham perusahaan swasta atau investasi langsung dalam proyek tertentu. Investasi ini biasanya tidak tersedia untuk umum dan sering kali memerlukan jumlah modal yang signifikan.
Sementara itu, investor publik adalah individu atau institusi yang berinvestasi dalam sekuritas yang diperdagangkan secara terbuka di pasar modal, seperti saham atau obligasi yang terdaftar di bursa efek.
Investasi itu dapat diakses oleh masyarakat umum, menawarkan likuiditas tinggi karena dapat diperjualbelikan dengan mudah, dan berada di bawah regulasi ketat untuk melindungi investor.
Edward menyampaikan penurunan IHSG atau faktor eksternal lain memang bisa memengaruhi investasi privat. “Namun, menyesuaikan diri pada kondisi pasar dan memiliki fleksibilitas dalam strategi jangka panjang, cukup penting untuk menghadapi tantangan ini,” kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (18/3).
Menurut dia, investor privat perlu berfokus pada fundamental startup yang akan disuntik modal.
Dampak Gejolak Pasar Saham ke Rencana IPO Startup Amerika
Edward mengatakan penurunan IHSG bisa secara langsung memengaruhi investor privat, jika startup portofolionya berencana melakukan pencatatan saham perdana alias initial public offering (IPO). Gejolak di pasar saham bisa saja membuat rencana pencatatan saham perdana ditunda.
“Kalau memang ada pengaruh, itu lebih kepada masalah sentimen pasar, benchmark valuasi, likuiditas investor yang juga masuk ke pasar modal, dan juga potensi exit di bursa saham yang tertunda atau tidak ideal,” ujar Edward.
Exit dalam istilah startup yakni pendekatan atau strategi untuk mengakhiri investasi dengan cara yang akan memaksimalkan keuntungan dan/atau meminimalkan kerugian. Dikutip dari Startup Studio, jenis-jenisnya yakni menjual ke investor, mewariskan kepada keluarga, IPO, merger dan akuisisi, likuidasi, management and employee buyouts.
Bursa Efek Indonesia atau BEI mencatat per Januari, ada 18 calon emiten yang mengantre untuk IPO. Sektornya sebagai berikut:
- Dua perusahaan dari sektor material dasar
- Satu perusahaan dari sektor konsumer siklikal
- Enam perusahaan dari sektor konsumer non siklikal
- Dua perusahaan dari sektor energi
- Satu perusahaan dari sektor finansial
- Dua perusahaan dari sektor kesehatan
- Tiga perusahaan dari sektor industri
- Satu perusahaan dari sektor transportasi dan logistik
Di Amerika misalnya, gejolak pasar saham membuat unicorn mengkaji kembali rencana IPO. Bursa saham Amerika Wall Street tertekan karena kebijakan Presiden Donald Trump yang mengerek tarif dagang untuk produk dari Meksiko, Kanada, Cina hingga Uni Eropa. Hal ini memicu kekhawatiran perang dagang dan dampaknya ke pertumbuhan ekonomi.
Meski Wall Street mulai pulih awal minggu ini, Dow Jones Industrial Average mencatatkan penurunan mingguan terbesar sejak 2023, sementara Nasdaq Composite masih berada dalam fase koreksi, turun 11% dari level tertingginya pada penutupan Senin (17/3).
VIX atau Volatility Index mencapai hampir 30 pekan lalu atau melonjak 62,6% selama sebulan terakhir. VIX adalah indeks yang mengukur ekspektasi volatilitas pasar saham AS dalam 30 hari ke depan, berdasarkan harga opsi S&P 500.
Volatilitas menjadi musuh terburuk dari debut IPO yang lancar. “Satu hal yang paling tidak disukai investor adalah ketidakpastian," kata salah satu pendiri perusahaan penasihat IPO Class V Group Lise Buyer dikutip dari PitchBook, pekan lalu (14/3). "Dan ada banyak hal seperti itu yang datang dari Washington."
Perusahaan yang didukung modal ventura sudah berhati-hati sebelum IPO. Mereka mewaspadai kapitalisasi pasar yang lebih rendah daripada valuasi saat go public.
“Banyak orang di bidang usaha sangat optimistis bahwa suku bunga acuan (di Amerika) akan turun, yang akan memacu aktivitas dan mengurangi hambatan dan sebagainya,” kata Analis Senior Modal Ventura di PitchBook Emily Zheng.
Salah seorang pendiri spesialis sekunder New Vintage Partners sekaligus mantan mitra di dana lindung nilai Islet Capital Charles Jaskel pun menilai lonjakan VIX dapat membantu perusahaan-perusahaan unicorn untuk tetap menjalankan rencana IPO.
Hal itu karena pasar yang bergejolak dapat membuat startup lain enggan mencatatkan saham, sehingga mengakibatkan berkurangnya persaingan dan pilihan yang lebih jelas bagi investor IPO.
Investasi ke Startup Indonesia Anjlok Paling Dalam Se-Asia Tenggara
Laporan DealStreetAsia menunjukkan jumlah kesepakatan pendanaan startup di Indonesia turun 34% yoy menjadi 85. Nilai investasinya juga turun 66% menjadi US$ 437,8 juta atau Rp 7,23 triliun.
Penurunan investasi ke startup di Indonesia merupakan yang terdalam di antara enam negara di Asia Tenggara yang diteliti oleh DealStreetAsia dalam laporan ‘Data Vantage’. Kontribusi Indonesia pun menurun dalam tiga tahun terakhir, yakni:
- 2021: 40,3%
- 2022: 22%
- 2023: 16,3%
- 2024: 9,6%
Penurunan pendanaan terjadi di seluruh tahapan, yakni:
Seri C dan seterusnya: turun dari 33 transaksi pada 2021, menjadi empat tahun lalu. Nilainya melorot dari US$ 7,51 miliar menjadi US$ 71,2 juta. Ini merupakan yang terlemah dalam enam tahun terakhir.
- Tahap akhir: 21 transaksi dengan total dana US$ 1,23 miliar. Ini merupakan yang terkecil dalam enam tahun terakhir.
- Transaksi di atas US$ 100 juta: tidak ada sama sekali pada 2024, dibandingkan dua pada 2023 dan tujuh pada 2022.
- Transaksi kisaran US$ 2,5 juta – US$ 5 juta: porsinya bertambah menjadi 21% dari keseluruhan volume transaksi
- Transaksi maksimal US$ 1 juta: porsinya juga bertambah menjadi 30%
“Dengan minimnya pendanaan tahap akhir dan tekanan yang terus berlanjut pada valuasi perusahaan rintisan, Indonesia gagal menghasilkan perusahaan rintisan berstatus unicorn untuk pertama kalinya dalam enam tahun,” demikian dikutip dari DealStreetAsia pada Januari.
Unicorn terbaru Indonesia yakni eFishery pada 2023. Namun startup perikanan ini menghadapi penyelidikan terkait dugaan fraud atau kecurangan sejak akhir tahun lalu.
Dari sisi sektor, teknologi finansial atau fintech menyalip e-commerce sebagai industri yang mendapatkan investasi terbanyak tahun lalu. Rinciannya yakni:
- 2021: 47
- 2022: 41
- 2023: 22
- 2024: enam
Laporan tersebut menyoroti bahwa penataan ulang sektor e-commerce Indonesia didorong oleh tekanan ekonomi makro, termasuk menyusutnya kelas menengah dan meningkatnya inflasi di kota-kota tier pertama dan kedua.
“Tantangan-tantangan ini diperparah oleh dinamika sektor internal, karena para pelaku usaha yang mapan menghadapi kesulitan dalam menunjukkan model bisnis yang berkelanjutan,” demikian dikutip.
Penurunan pendanaan ke e-commerce mendorong agritech naik ke peringkat kedua berdasarkan volume transaksi pada 2024. Rinciannya sebagai berikut:
- 2022: 22
- 2023: 10
- 2024: 12
Sebelum IHSG rontok, investor optimistis terhadap potensi pemulihan di Indonesia. Patrick Walujo, salah satu pendiri dan mitra pengelola Northstar Group, menyatakan optimismenya tentang prospek jangka panjang negara ini.
Ia menyoroti ukuran pasar Indonesia yang besar, sumber daya alam yang melimpah, dan basis konsumen yang terus berkembang. Menurut Patrick Walujo, Indonesia terlalu besar untuk diabaikan bagi para investor dan perusahaan teknologi.
"Selalu ada yang buruk, tetapi jika Anda mengesampingkan itu, banyak perusahaan yang berjalan sangat baik, dan itulah perbedaannya. Ini semua tentang kualitas pendiri dan manajemen," kata Patrick Walujo dalam acara PE-VC Summit pada 16 Januari.
Sementara itu, mitra pendiri Intudo Ventures Patrick Yip mengatakan Indonesia akan tetap tidak terdeteksi oleh banyak investor, karena merupakan pasar non-konsensus yang tengah memulihkan diri dari penurunan penggalangan dana signifikan pertama.
"Dengan antisipasi yang meningkat di pasar modal AS, kami memperkirakan modal akan mengalir deras ke Wall Street dan Silicon Valley, sehingga pasar berkembang seperti Indonesia terabaikan, tetapi memberikan pasar modal ventura Indonesia khususnya waktu yang cukup untuk menyelesaikan kalibrasi ulang valuasi dan ekspektasi untuk siklus berikutnya," kata Yip.
Kini, investor dinilai akan mengkaji kembali rencana investasi di Indonesia, terutama setelah IHSG rontok pada perdagangan Selasa (18/3). Penurunan harga saham menjadi salah satu tolok ukur pelemahan ekonomi Indonesia.