Dampak Negatif AI di Dunia Pendidikan: Batasi Cara Berpikir Kritis Siswa


Kecerdasan buatan alias AI dinilai mempermudah pelajar memahami pelajaran, termasuk di luar jam sekolah. Akan tetapi, teknologi ini juga bisa membatasi cara berpikir kritis siswa.
Associate Professor, Tokyo College, The University of Tokyo Science and Technology Studies, AI Governance Arisa Ema menyampaikan, tanpa pemahaman yang baik, pelajar akan tidak mengetahui apakah jawaban yang diberikan oleh platform seperti ChatGPT maupun Gemini, benar atau tidak.
Selain itu, proses mengandalkan AI untuk segala pertanyaan akan menghambat siswa berpikir kritis. “Jadi mungkin ada risiko orang berhenti berpikir tentang masalah semacam itu, tetapi saya pikir, sebagian besar masalah belum terpecahkan dan perlu dibahas terus misalnya, masalah politik, lingkungan atau mungkin alam semesta,” kata Arisa dalam diskusi bertajuk ‘The Role of Education and Science in the Digital Age’ yang ditayangkan melalui YouTube DIJ Tokyo, bulan lalu.
Dampak negatif lainnya yakni pengajaran menggunakan AI akan mengurangi keintiman guru dengan murid.
Sejarawan Israel Yuval Noah Harari menyoroti dampak negatif AI ke keintiman antar-manusia. “Apakah AI akan dapat mengembangkan perasaan sendiri. Kita tahu pasti bahwa ia dapat meniru perasaan. Ia dapat membuat kita berpikir bahwa ia memiliki perasaan. Akan tetapi, apakah ia benar-benar merasakan sesuatu? Itulah pertanyaan yang sangat besar,” kata dia.
Yuval Noah menjelaskan kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan. Sementara itu, kesadaran ialah kemampuan untuk merasakan sesuatu.
“Kita tahu bahwa AI sangat cerdas. Ia dapat memecahkan masalah. Tetapi, apakah ia merasakan sesuatu ketika memenangkan permainan? Jika kalah, apakah ia sedih? Sejauh pengetahuan kami, tidak, otak tidak merasakan apa pun. Apakah otak akan mampu merasakannya di masa mendatang? Kami tidak tahu karena kami tidak memahami kesadaran manusia. Kami tidak mengerti bagaimana kita memiliki perasaan. Bagaimana mungkin ketika miliaran neuron di otak bertukar sinyal elektrokimia, hal ini terwujud sebagai perasaan cinta atau sakit? Kami belum memiliki teori ilmiah tentang hal ini,” Yuval menambahkan.