Mayoritas Warga Indonesia Habiskan Rp 300 Ribu per Bulan untuk Internet
Pengeluaran internet warga Indonesia untuk mobile broadband paling banyak Rp 51 ribu – Rp 100 ribu per bulan dan fixed broadband Rp 100 ribu – Rp 300 ribu per bulan tahun ini, menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia atau APJII.
Jumlah pengguna internet di Indonesia 229,4 juta atau 80,66% dari total penduduk pada 2025. Jumlahnya naik dibandingkan tahun lalu 79,5%.
Persentase yang menggunakan internet langsung ke HP alias mobile broadband 68,02% turun dibandingkan tahun lalu 74,27%. Sementara pengguna fixed broadband, khususnya WiFi yang terpasang di rumah naik dari 22,38% menjadi 28,43%.
Merujuk pada laman Bank Dunia dan ITU, mobile broadband adalah layanan internet yang terhubung menggunakan simcard fisik maupun elektronik alias e-SIM. Sedangkan fixed broadband ialah layanan internet yang terhubung ke perangkat menggunakan infrastruktur fisik seperti kabel serat optik, DSL, atau kabel koaksial.
Laporan APJII berdasarkan survei terhadap 8.700 responden menunjukkan nilai pengeluaran internet warga Indonesia sebagai berikut:
Mobile broadband:
- Kurang dari Rp 50 ribu: 34,52%
- Rp 51 ribu – Rp 100 ribu: 52,27%
- Rp 101 ribu – Rp 250 ribu: 12,2%
- Lebih dari Rp 250 ribu: 1,02%
Fixed broadband:
- Kurang dari Rp 100 ribu: 6,82%
- Rp 100 ribu – Rp 300 ribu: 74,31%
- Rp 301 ribu – Rp 500 ribu: 16,8%
- Lebih dari Rp 500 ribu: 1,05%
- Tidak tahu: 1,12%
Layanan mobile broadband yang digunakan:
- Telkomsel/ Simpati / byU / Halo: 45,79%
- Indosat Ooredoo Hutchison / Three: 29,31%
- XL Axiata / Axis: 19,75%
- Smarftren: 5,14%
Layanan fixed broadband yang digunakan:
- IndiHome 43,96%
- Iconnet 4,24%
- Biznet 3,87%
- My Republic 2,82%
- Oxygen 2,23%
- First Media 2,27%
- MNC Play 2,14%
- XL Home 1,62%
- Operator satellite seperti Starlink 1,61%
- CBN 0,78%
- Lainnya 23,83%
- Tidak tahu 10,8%
Warga Indonesia Pakai Internet untuk Main Media Sosial
Penggunaan internet di Indonesia sebagai berikut:
- 24,80%: Mengakses media sosial
- 15,04%: Mengakses berita/informasi terkini
- 14,95%: Melakukan transaksi online
- 14,68%: Mengakses konten hiburan
- 8,61%: Mengakses layanan publik
- 5,84%: Mengakses layanan keuangan
- 4,20%: Menggunakan email/berkomunikasi
- 4,17%: Bersekolah dari rumah
- 3,54%: Bekerja dari rumah
- 4,16%: Mengakses transportasi online
- 0,03%: Lainnya
Alasan masyarakat belum terkoneksi internet menurut generasi, sebagai berikut:
Gen Z:
- Tidak memiliki komputer atau gadget: 16,78%
- Tidak tahu bagaimana menggunakan perangkat: 14,81%
- Membeli kuota terlalu mahal: 38,75%
- Di wilayah tidak ada sambungan internet: 30,14%
- Tidak melihat manfaat: 23,33%
- Keterbatasan fisik: 5,08%
- Lainnya: 32,33%
Milenial:
- Tidak memiliki komputer atau gadget: 18,00%
- Tidak tahu bagaimana menggunakan perangkat: 14,64%
- Membeli kuota terlalu mahal: 15,00%
- Di wilayah tidak ada sambungan internet: 28,77%
- Tidak melihat manfaat: 17,78%
- Keterbatasan fisik: 3,39%
- Lainnya: 29,32%
Gen X:
- Tidak memiliki komputer atau gadget: 30,28%
- Tidak tahu bagaimana menggunakan perangkat: 26,21%
- Membeli kuota terlalu mahal: 26,25%
- Di wilayah tidak ada sambungan internet: 35,62%
- Tidak melihat manfaat: 35,56%
- Keterbatasan fisik: 18,64%
- Lainnya: 24,81%
Baby Boomer:
- Tidak memiliki komputer atau gadget: 28,07%
- Tidak tahu bagaimana menggunakan perangkat: 33,74%
- Membeli kuota terlalu mahal: 18,75%
- Di wilayah tidak ada sambungan internet: 5,48%
- Tidak melihat manfaat: 16,67%
- Keterbatasan fisik: 57,63%
- Lainnya: 13,53%
Pre Boomer:
- Tidak memiliki komputer atau gadget: 6,87%
- Tidak tahu bagaimana menggunakan perangkat: 10,60%
- Membeli kuota terlalu mahal: 1,25%
- Di wilayah tidak ada sambungan internet: 0,00%
- Tidak melihat manfaat: 6,67%
- Keterbatasan fisik: 15,25%
Sekretaris Jenderal APJII Zulfadly Suam mengatakan berdasarkan pengamatan terhadap pola konsumsi masyarakat, terlihat bahwa banyak pengguna internet di Indonesia cenderung memilih paket dengan bandwidth tinggi, meskipun kebutuhan sebenarnya tidak sebesar itu.
“Misalnya, banyak konsumen yang berlangganan paket internet up to 50 Mbps dengan harga sekitar Rp 250 ribu per bulan. Padahal, dalam praktiknya, kecepatan yang mereka butuhkan di rumah mungkin hanya sekitar 10 Mbps,” katanya.
Fenomena itu disebut muncul karena strategi pemasaran operator seluler yang menawarkan kecepatan tinggi dengan harga yang terlihat menarik. Konsumen yang tergiur akhirnya memilih paket berkecepatan besar, meski tidak seluruhnya dimanfaatkan.
“Namun, karena merasa puas, dengan kecepatan yang jauh melebihi kebutuhannya, mereka tetap melanjutkan langganan dengan harga dan paket yang sama di tahun-tahun berikutnya,” katanya.
