Indonesia Peringkat 3 Dunia Kasus Seksual Anak, Komdigi Soroti AI Jahat
Indonesia menempati peringkat ketiga dunia terkait eksploitasi seksual anak di ruang digital tahun lalu. Kementerian Komunikasi dan Digital alias Komdigi menyoroti penggunaan AI untuk kejahatan seperti ini.
Setidaknyada 1,45 juta kasus eksploitasi seksual anak di ruang digital di Indonesia tahun lalu, menurut laporan National Center for Missing & Exploited Children.
Oleh karena itu, Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria menilai perlindungan anak di ruang digital merupakan isu publik yang mendesak.
Nezar menyoroti adanya tren baru penggunaan teknologi AI untuk menciptakan konten kekerasan seksual anak. Laporan Internet Watch Foundation atau IWF mencatat lebih dari 3.500 konten berbasis AI diunggah ke dark web pada Juli 2024, bahkan mencapai lebih dari 20.000 konten pada Oktober 2023.
“Ini juga banyak sekali digunakan, dan banyak sekali anak-anak (di Indonesia) yang menjadi korban dan berdampak cukup dalam terhadap kondisi psikologis korban,” ujar Nezar Multistakeholder Dialogue on Follow the Money: Unmasking Child Sexual Exploitation through Financial Transactions di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Kamis (2/10).
Oleh karena itu, Komdigi membangun ekosistem digital yang tidak hanya mendorong kreativitas dan pembelajaran, tetapi juga menjamin setiap anak terlindungi dari ancaman dunia digital.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak atau PP TUNAS. Selain itu, memfinalisasi Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional dengan prinsip tata kelola AI berbasis manusia.
Komdigi juga menerapkan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten atau SAMAN.
Menurut Nezar Patria, kolaborasi lintas-sektor merupakan kunci untuk mengatasi persoalan kekerasan seksual pada anak, termasuk keterlibatan penyedia jasa keuangan.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK mencatat 24 ribu anak usia 10 sampai 18 tahun terjerat praktik prostitusi, dengan total transaksi Rp 127 miliar.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyebutkan anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap praktik eksploitasi seksual. Tidak hanya menimbulkan trauma mendalam, eksploitasi seksual anak juga kerap terkait dengan kejahatan lintas-batas, terorganisasi, dan berorientasi pada keuntungan finansial.
“Oleh karena itu, follow the money adalah kunci untuk memutus mata rantai kejahatan seksual anak,” kata Ivan.
PPATK pun memimpin penyusunan kajian regional di lingkup Financial Intelligence Consultative Group alias FICG. Kajian ini menghasilkan keluaran berupa indikator transaksi keuangan mencurigakan yang terindikasi eksploitasi seksual anak, dengan kontribusi nyata dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru, Jepang, dan negara-negara di kawasan Pasifik.
Kajian itu juga menelurkan rekomendasi pendekatan follow the money dalam mengungkap eksploitasi seksual anak, mengingat aliran dana menjadi hal yang lekat dengan praktik kejahatan keji tersebut.
Rekomendasi strategis dari kajian itu yakni seluruh pihak berkomitmen melindungi anak-anak tanpa batas sektoral, serta menutup ruang gerak bagi pelaku kejahatan melalui jalur transaksi keuangan.
Semua pemangku kepentingan juga menegaskan pendekatan follow the money sebagai strategi dalam pencegahan, deteksi hingga penindakan kejahatan eksploitasi seksual anak.
