Marak Jaringan Terorisme Rekrut Anak Lewat Gim Online, Komdigi Gelar Patroli
Jaringan terorisme merekrut anak-anak melalui WhatsApp, Facebook hingga game online. Kementerian Komunikasi dan Digital alias Komdigi memandang serius hal ini.
"Ini menjadi ancaman nyata bagi keselamatan anak dan keamanan ruang digital," kata Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar kepada Katadata.co.id, Rabu (19/11).
Dalam kewenangan Komdigi, instansi menjalankan pengawasan melalui patroli siber dan menindaklanjuti laporan masyarakat dan rekomendasi dari instansi terkait.
Setiap temuan konten negatif yang ditemukan atau dilaporkan akan diteruskan ke tahap verifikasi untuk memastikan adanya pelanggaran aturan perundangan.
Untuk konten di platform media sosial, sesuai UU No 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua UU ITE Pasal 40, pemerintah berwenang memerintahkan kepada platform untuk melakukan pemutusan akses terhadap konten yang memiliki muatan melanggar hukum.
Selanjutnya, penentuan takedown konten dilakukan oleh platform setelah penilaian pelanggaran oleh tim legal masing-masing platform. Apabila terbukti melanggar, konten ini akan di-takedown.
"Kami terus memperkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum, kementerian/lembaga terkait, serta platform digital agar upaya perekrutan melalui dunia maya dapat dicegah sejak dini," kata dia.
Komdigi juga mengimbau masyarakat tetap waspada dan melaporkan konten mencurigakan melalui kanal resmi kami di aduankonten.id.
Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror Polri mencatat ada 110 anak yang diduga direkrut jaringan terorisme. Perekrutan melalui WhatsApp, Facebook hingga game online.
Ada lima tersangka yang diduga menjadi perekrut anak untuk bergabung ke dalam kelompok terorisme, dengan tiga kali penegakan hukum dari akhir Desember 2024 hingga 17 November 2025.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko mengungkapkan modus propaganda jaringan terorisme yakni melalui ruang digital secara bertahap.
"Propaganda awalnya diseminasi melalui platform yang lebih terbuka seperti Facebook, Instagram, dan game online,” kata dia dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (18/11).
Propaganda itu berbentuk video pendek, animasi, meme, serta musik yang dikemas menarik untuk membangun kedekatan emosional dan memicu ketertarikan ideologis.
Kemudian, anak yang dianggap menjadi target potensial akan dihubungi secara pribadi oleh jaringan terorisme melalui platform yang lebih tertutup, seperti Facebook dan Telegram.
Ia menyebut kerentanan anak terpapar radikalisme dipengaruhi sejumlah faktor sosial, di antaranya bullying atau perundungan, kurangnya perhatian keluarga, pencarian identitas jati diri, marginalisasi sosial, serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman agama.
Dalam kesempatan yang sama, Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri AKBP Mayndra Eka Wardhana mengatakan bahwa pihaknya melihat ada tren kenaikan jumlah anak yang diduga direkrut dalam jaringan terorisme.
Pada 2011 - 2017, Densus 88 mengamankan kurang lebih 17 anak korban rekrutmen. Akan tetapi, pada akhir 2024 hingga 2025, ada 110 anak yang teridentifikasi.
“Ada proses yang sangat masif sekali rekrutmen yang dilakukan melalui media daring,” ujarnya. Oleh karena itu, Polri bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait untuk mencegah anak kembali menjadi korban rekrutmen jaringan terorisme.
