Perpres Nilai Ekonomi Karbon, “Oleh-oleh” Indonesia di COP26
Pemerintah masih terus membahas perpres nilai ekonomi karbon sebaga upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Perpres ini diharapkan bisa disahkan sebelum konferensi PBB terkait perubahan iklim Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober 2021 dimulai.
Asisten Deputi Agro, Farmasi, dan Pariwisata Kemenko Perekonomian Dida Gardera mengatakan, perpres nilai ekonomi karbon akan menjadi oleh-oleh Indonesia pada saat COP26, akhir bulan ini.
“Setiap penyelenggaraan COP, Indonesia selalu membawa oleh-oleh. Pada 2016 sudah ada UU Ratifikasi Paris Agreement dan 2017 soal ekonomi lingkungan. Tahun ini kami berharap perpres nilai ekonomi karbon akan menjadi oleh-oleh yang akan dibawa dalam pertemuan COP26 di Glasgow. Saat ini, teman-teman di Kemenko Maritim dan Investasi masih terus memfinalisasi perpres tersebut,” kata Dida saat menjadi pembicara dalam webinar The Road to COP26 yang digelar Katadata dan Landscape Indonesia, Kamis (21/10/2021).
Perpres yang memuat pengaturan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon, termasuk mekanisme perdagangan karbon (cap and trade dan carbon offset), Result Based Payment (RBP) dan Pajak atas karbon, serta upaya pencapaian target National Determination Contribution NDC yang terkait dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pembentukan Instrumen Pengendalian dan Pengawasan. Jika Perpres ini telah disetujui maka Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mampu menyusun roadmap ekonomi karbon untuk jangka panjang.
Dida menambahkan, carbon trading akan menjadi salah satu hal yang krusial dalam pertemuan COP26. Kata Dida, Indonesia sudah menyiapkan sejumlah policy terkait carbon trading. Salah satunya yang baru saja disahkan adalah pajak karbon.
“Seluruh opsi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sudah disiapkan. Seperti yang dikatakan Prof Emil Salim kita harus berlayar sambil membangun perahu. Selain menunggu perpres nilai ekonomi karbon, pembangunan yang low carbon juga sudah masuk di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional,” jelas Dida.
Setelah Perpres tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) ini terbit, uji coba perdagangan karbon akan sangat membantu dalam pengembangan mekanisme pengendalian emisi nasional. Pemanfaatan instrumen nilai ekonomi karbon mendorong percepatan transisi energi.
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan (Diraga), PT PLN Bob Saril mengatakan, PLN sudah siap dalam melakukan transisi energi dan membantu pemerintah mencapai target bauran energi 23 persen pada 2025.
“PLN sudah siap secara infrastruktur dan SDM untuk capai target bauran energi 23 persen. PLN akan mengganti PLTU dan diubah menjad biomassa, 5.000 PLTD juga akan diganti menjad EBT dengan harapan untuk mengurangi efek gas rumah kaca,” ujar Bob Saril.
Bob Saril menambahkan, PLN juga terus menyosialisasikan penggunaan energi bersih. Salah satunya adalah membentuk ekosistem penggunaan mobil listrik sebagai alat transportasi.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan komitmen Indonesia untuk mengendalikan perubahan iklim sangat besar di mana pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Komitmen tersebut tertuang di dalam dokumen nationally determined contribution (NDC).
Meski begitu, Siti menilai bahwa tanpa kerja sama dan dukungan finansial, Indonesia hanya mampu menekan isu perubahan iklim sebesar 29 persen.
"Tahun ini pada 22 juli sudah kita update untuk emisi kita memang masih 41 persen, apabila dengan dukungan kerja sama teknik internasional dan finansial tentu saja masih di angka 29 persen apabila kita bicara dengan kekuatan kita sendiri," ujar Siti.