Startup Teknologi Hijau Masih Sulit Dapat Pembiayaan, Ini Penyebabnya
Koordinator Ekosistem dan Pemanfaatan TIK, Kementerian PPN/Bappenas Andianto Haryoko mengatakan startup teknologi hijau atau greentech di dalam negeri masih menghadapi sejumlah kendala. Kendala tersebut di antaranya terkait pendanaan, kebijakan, maupun regulasi.
Andinto mengatakan, perbankan dan lembaga keuangan belum dapat mengidentifikasi kategori greentech untuk penyaluran kredit. Selama ini, kata Andianto, pihak bank dan lembaga keuangan memasukkan kategori greentech ke kelompok usaha yang berisiko tinggi.
“Greentech digital enterpreneur ini kalau dimasukkan ke UMKM juga sulit. Karena tidak bisa apple to apple bisa dibandingkan dengan penjual gorengan, warmindo,” kata Andianto saat Konferensi Pers “Welcoming 35 Greentech Innovators in the Greentech Entrepreneurs Network (GEN) Program", Jakarta, Kamis (1/2).
Dia mengatakan, lembaga keuangan dan perbankan pada akhirnya tidak bisa memasukkan greentech ke kategori debitur mereka. “Tidak bisa dimasukkan kemana-mana, karena belum ada kebijakan dan regulasi di dalam dunia perbankan,” ucapnya.
Ia menuturkan, sebenarnya perbankan dapat melihat kegiatan pelaku usaha greentech untuk menghitung kelayakan finansial mereka.
“Ini yang mestinya itu menjadi literasi digital kepada lembaga keuangan dan perbankan bahkan,” katanya.
Andianto mengatakan ,saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menggodok kebijakan terkait taksonomi hijau. Menurutnya, kebijakan tersebut dapat menjadi payung hukum untuk perbankan dan lembaga keuangan sehingga bisa memberikan kredit kepada para pelaku usaha greentech.
“Tentunya pemerintah harus terus mengevaluasi kebijakan dan regulasi yang betul-betul bisa fokus dan tepat sasaran untuk mempercepat akses pendanaan greentech. Jangan sampai kredit ini justu memberikan high risk karena ini tidak ada asetnya,” ujar dia
Padahal, Andianto melihat terdapat potensi greentech menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pasalnya, digital enterpreneur temasuk greentech memegang peranan yang cukup penting.
Andianto menilai sumber daya manusia (SDM) kita cukup besar untuk bisa dilatih mengenai digital enterpreneur. Pasalnya, ekosistem digital di Indonesia saat ini masih rendah.
“UMKM kita yang masuk dan menguasai teknologi ini masih cukup sedikit, hanya 12 yang terlibat dalam ekosistem digital,” ucapnya.
Untuk itu, Kementerian PPN/Bappenas bekerjasama dengan GIZ Indonesia dan Endeavor Indonesia membuat program akselerator dan hub untuk startup teknologi hijau bernama Greentech Entrepreneurs Network (GEN). GEN siap mendorong dan mengkatalisasi pertumbuhan vertikal startup teknologi hijau di Indonesia.
Melalui hub ini, GEN mencari wirausahawan inovatif yang dapat mengembangkan startup-nya dengan memperluas akses ke mitra bisnis potensial, investor, dan mentor.
Manager proyek Digital Transformation Center, Daniel Schroeder, mengatakan aktivitas ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan kapasitas wirausaha teknologi hijau untuk dapat meluaskan bisnis mereka.
"Serta menumbuhkan contoh-contoh baik di dalam sektor ini, khususnya pada sektor sirkuler ekonomi, energi bersih, dan pengelolaan sumber daya alam,” kata Daniel.
Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika Kementerian PPN/Bappenas Taufiq Hidayat Putra mengatakan pihaknya akan terus mendorong kemajuan teknologi hijau melalui kegiatan ini.
“Kami juga ingin memperkenalkan dan mempromosikan mereka ke institusi publik/non-profit/non-pemerintah, dan pemerintah Kabupaten/Kota,” kata Taufiq.