Startup di Sektor Pengolahan Sampah Bermunculan, Bisa Profit?
Sejumlah startup yang bergerak di bidang pengolahan sampah mulai bermunculan di Indonesia. Sebagai perusahaan, kegiatan mereka tidak hanya fokus di bidang sosial, namun juga harus mendapatkan keuntungan.
Startup yang fokus di bidang pengolahan sampah tersebut misalnya Jangjo, Waste4change, MallSampah, Gringgo, dan Rekosistem.
CoFounder & CEO Jangjo, Joe Hansen, mengatakan bahwa perusahaannya kini sudah profit. Menurut dia, sebuah perusahaan manapun harus profit untuk bisa mendapatkan investor.
"Semester ini kami profit. Sekarang startup manapun, tak hanya pengolahan sampah, harus profit untuk mendapatkan investor, ujarnya saat berbincang dengan Katadata di Jakarta, Kamis (18/7).
Meskipun demikian, Joe mengatakan, mencari keuntungan dari pengolahan sampah harus jeli. Pasalnya sekitar 70 persen dari sampah merupakan residu yang tidak memiliki nilai.
Sementara 15 persen lainnya adalah sampah organik yang bisa diolah dengan membudidayakan maggot. Lalu 15 persen lainnya merupakan sampah berharga seperti botol plasti yang bisa didaur ulang dan dijual kembali.
"Sebanyak 70 persen sampah residu tersebut misalnya tisu, limbah cair yang gak habis, dan jenis sampah plasti yang tidak berharga," ujarnya.
Dia mengatakan, sebanyak 70 persen sampah residu tersebut banyak yang kemudian berakhir Tempat Pembuangan Akhir. Namun hal itu membutuhkan biaya untuk pengangkutannya, juga resiko lingkungan.
Oleh sebab itu, dia memilih untuk mengolah 70 persen sampah tersebut menjadi bahan untuk pembangkit listrik industri semen.
"Memang untuk industri semen ini, jika dihitung dengan ongkos pengangkutan transportasi menjadi tidak untung, tapi bisa impas, lebih baik daripada hanya dibuang ke TPA," ujarnya.
Mendapatkan Untung dari Efisiensi
Joe mengatakan, perusahaannya terus melakukan inovasi untuk melakukan efisiensi. Salah satu caranya dengan mencari inovasi dan penelitian.
Salah satunya dengan melakukan penelitian tentang mengubah sampah menjadi bahan bakar minyak. Dengan demikian, perusahaannya dapat melakukan penghematan dari biaya BBM. Namun demikian, Joe mengatakan, penggunaan BBM tersebut baru diterapkan untuk lingkungan sendiri.
Dia mengatakan, saat ini sudah ada sejumlah investor yang melakukan penjajakan. Namun dia mengaku tidak terburu-buru.
"Karena ini kan seperti pernikahan, kami mencari yang cocok sehingga bisa tumbuh bersama," ujarnya.
Di tempat terpisah, Chief Commercial Officer (CCO) Ecoxyztem, Andreas Pandu Wirawan, mengatakan banyak investor luar yang tertarik untuk melakukan pendanaan pada startup berbasis teknologi iklim, termasuk pengolahan sampah. Ecoxyztem merupakan sandbox yang membantu menjembatani startup di bidang climate technology dengan investor karena kebanyakan startup belum memiliki akses terhadap pendanaan.
Sejak berdiri pada 2021, Pandu mengatakan, Ecoxyztem telah membantu sekitar 250 startup bidang teknologi iklim dari seluruh Indonesia untuk mendapatkan pendanaan. Pandu bercerita bahwa Ecoxyztem kerap bertemu dengan banyak calon investor, sebagian besar dari Eropa atau Amerika Serikat (AS) yang memarkir dananya di Singapura.
"Mereka tanya di Indonesia peluang climate tech bagaimana? Kita ada ticket size segini, ada yang siap enggak?" tutur Pandu dalam GreenTalks "Kerja di Startup Juga Bisa Selamatkan Lingkungan!" yang disiarkan di Youtube Katadata, Senin (24/6).
Ecoxyztem kemudian mencari startup-startup climate tech yang siap untuk menyerap pendanaan tersebut. Ketika menerima pendanaan besar, mereka juga harus bisa mempertanggungjawabkannya karena investor juga mencari cuan dan berharap return dari investasinya.
Salah satu startup yang dibantu oleh Ecoxyztem adalah Waste4Change. Pandu menyebut Waste4Change yang bergerak di bidang pengelolaan sampah itu berdiri pada 2014. Namun, mereka baru menerima investasi pada 2019. Waste4Change sempat harus mencari pinjaman dari bank atau mencari proyek agar bisa survive sebelum akhirnya mereka bertemu dengan Ecoxyztem.
Menurut Pandu, saat ini belum ada startup climate tech yang mencapai skala unicorn alias startup yang memiliki valuasi US$ 1 miliar. Ada satu yang mendekati unicorn, yakni eFishery. Ia berharap di masa yang akan datang akan muncul unicorn atau bahkan decacorn yang berasal dari startup climate tech.