Jakarta Kembali Masuk Lima Besar Kota dengan Kualitas Udara Terburuk di Dunia
Jakarta kembali masuk ke dalam lima besar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada Selasa pagi (27/8). Berdasarkan data yang dihimpun situs pemantau kualitas udara IQAir pada pukul 09.11 WIB, Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta berada di peringkat ketiga dengan poin sebesar 166 atau berada dalam kategori tidak sehat.
Kategori tersebut menunjukkan bahwa kualitas udara di wilayah itu tidak sehat bagi manusia untuk beraktivitas di luar ruangan.
Selain Jakarta, terdapat dua kota di Indonesia yang masuk dalam 60 besar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, Kota tersebut adalah Batam dan Medan. Batam menempati posisi ke 11 dengan Indeks AQI sebesar 93 dan Medan menempati posisi ke 55 dengan Indeks AQI sebesar 58 atau berada pada kategori sedang.
Adapun kategori sedang, yakni kualitas udaranya yang tidak berpengaruh pada kesehatan manusia ataupun hewan tetapi berdampak pada tumbuhan yang sensitif dan nilai estetika dengan rentang PM2,5 sebesar 51-100.
Sementara kota dengan kualitas udara terburuk di dunia ditempati oleh Doha di Qatar dengan AQI poin sebesar 179, kedua Manama di Bahrain dengan AQI poin sebesar 172, di peringkat keempat ada Dubai di Uni Emirate Arab dengan AQI poin sebesar 165, dan kelima Kinshasa di Kongo dengan AQI poin sebesar 154.
Jakarta Butuh 71 Titik Stasiun Pemantai Kualitas Udara
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan saat ini memerlukan 71 titik Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) agar intervensi kebijakan dapat diambil dengan tepat baik terkait sektor kesehatan, pendidikan, maupun transportasi.
"Saat ini baru terealisasi 31 titik," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto di Jakarta, Selasa (13/8).
Menurut dia, 31 titik SPKU yang tersebar di wilayah DKI itu masih sangat kurang untuk memantau kualitas udara di Jakarta. Dari hasil kajian yang ada, kebutuhan SPKU di DKI mencapai 71 unit atau sekitar empat SPKU per kecamatan.
"Kami memang sudah mengkaji kebutuhan SPKU dan jumlah 71 unit ini merupakan kajian," katanya.
Dengan adanya SPKU ini, menurut dia, banyak intervensi kebijakan yang dapat diambil dengan tepat terkait kualitas udara, baik sektor kesehatan, pendidikan, maupun transportasi.
Ia mencontohkan kebijakan pada sektor kesehatan. Dengan adanya akurasi data terkait kualitas udara di suatu daerah, menurut dia, petugas atau dinas kesehatan dapat mengintervensi melalui persiapan obat-obatan terutama yang berhubungan dengan penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Ini juga berlaku pada kebijakan di sektor transportasi. Menurut dia, maka petugas Dinas Perhubungan dapat memberlakukan sejumlah rekayasa dalam mengurangi jumlah kendaraan ketika di suatu lokasi kualitas udara memburuk.
"Akurasi data terkait kualitas udara untuk dinas kesehatan nanti bisa menentukan intervensi terhadap kondisi penyakit yang diderita. Ini bisa merujuk dari data yang dihasilkan oleh SPKU," katanya.