KLHK Terbitkan Aturan soal Pejuang Lingkungan Tidak Bisa Dipidana
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri no. 10 tahun 2024 yang memberikan perlindungan terhadap pejuang lingkungan. Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak bisa dipidana atau digugat perdata.
"Orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata," demikian dikutip dari pasal 2 Permen LHK no.10 tahun 2024, pada Jumat (13/9).
Peraturan ini telah ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada 30 Agustus 2024 dan resmi diundangkan pada 4 September 2024.
Menanggapi hal itu, Public Engagement & Actions Manager Greenpeace Indonesia, Khalisa Khalid, mengatakan menyambut baik Permen LHK tersebut meski cukup terlambat. Hal itu mengingat desakan dari organisasi lingkungan untuk adanya turunan regulasi dari pasal 66 UU PPLH telah sejak lama diusulkan, bahkan sejak awal-awal pemerintahan Presiden Jokowi.
"Draft Permen ini cukup lama mengendap, dan mengakibatkan semakin banyak pejuang lingkungan yang dikriminalisasi, ujarnya kepada Katadata, Kamis (12/9).
Namun, terdapat beberapa catatan kritis terhadap Permen LHK ini. Di antaranya yang mengatur tentang Ketentuan Umum yang menyebutkan bahwa aturan tersebut berlaku bagi pejuang lingkungan yang menempuh cara hukum. Jika mengacu pada ketentuan ini, maka pejuang lingkungan hidup yang dilindungi hanyalah yang menempuh jalur hukum.
"Sementara dalam kerja-kerja advokasi pembelaan lingkungan hidup, jalur hukum hanya salah satu strategi," kata Khalisa.
Dia mengatakan, tidak mudah bagi warga negara untuk mendapatkan akses hukum yang adil. Terlebih kita tahu fakta buramnya penegakan hukum di Indonesia.
"Belum lagi jika melihat kasus-kasus di lapangan, aparat penegak hukum justru menjadi tameng para pencemar, khususnya korporasi-korporasi skala besar kata Khalisa.
Menurut dia, seharusnya upaya advokasi lingkungan hidup yang menempuh jalur non litigasi bisa mendapatkan perlindungan yang sama dari negara., selama sesuai dengan konstitusi dan sejalan dengan koridor demokrasi.
Catatan kritis kedua, terkait bagian Tata Cara Penanganan. Pada poin 1 disebutkan "untuk memperoleh penanganan perlindungan hukum, orang yang memperjuangkan lingkungan hidup harus mengajukan permohonan perlindungan hukum".
Menurut Khalisa, ini terlihat yang harus aktif adalah si pejuang lingkungan hidup. Sementara dalam kasus-kasus lingkungan hidup yang sangat kompleks, seharusnya KLHK mengambil peran yang aktif, bukan hanya menunggu pelaporan. Terlebih disebutkan bahwa paling lama penilaian substansi selama 60 hari.
"Belajar dari kasus-kasus lingkungan hidup yang dilaporkan ke KLHK, banyak kasus pengaduan yang tidak di follow up secara serius, sehingga kasus-kasus tersebut semakin mengakumulasi konflik," ujarya.
Selain itu, Khalisa mengatakan, kasus-kasus lingkungan hidup itu terjadi di pelosok-pelosok yang memiliki keterbatasan akses. Ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi KLHK untuk lebih proaktif, baik dalam konteks pencegahan, maupun penanganan.
Khalisa mengatakan, catatan kritis ketiga yaitu tidak ada bagian yang mengatur siapa yang bertanggungjawab untuk menjalankan ini. "Apakah KLHK akan membentuk tim khusus? Karena hanya disebutkan ada tim penilai permohonan," ujarnya.
Selain itu, dia mengatakan, Permen ini juga tidak menjangkau pembungkaman terhadap pejuang lingkungan hidup melalui berbagai tindak kekerasan yang dialami. Namun negara juga harus memikirkan bagaimana melindungi para pejuang lingkungan hidup dari ancaman kekerasan yang bahkan berujung pada kematian.