Pakar Ungkap Alasan Puluhan Ekor Paus Bisa Terdampar di NTT
Ahli Cetacea dari James Cook University Australia, Putu Liza Kusuma Mustika, menjelaskan fenomena terdamparnya puluhan paus pemandu sirip pendek di pesisir Pureman, Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa waktu yang lalu.
Wanita yang akrab disapa Icha tersebut mengatakan paus merupakan mamalia laut yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, seperti penggunaan sonar di bawah laut, pencemaran air, serta kontaminasi sampah laut. Selain itu, paus juga sensitif pada badai matahari yang bisa menyebabkan gangguan elektromagnetik kutub-kutub bumi, di mana paus juga menggunakan sonar untuk sistem navigasinya.
"Menurunnya kualitas air juga dapat menurunkan imunitas paus, sedangkan semakin banyaknya sampah laut (terutama plastik) telah menyebabkan lebih banyak paus yang mati karena menelan sampah-sampah tersebut," katanya di Jakarta, Rabu (25/9).
Icha memaparkan berbagai kasus terdamparnya paus di dunia. Beberapa di antaranya disebabkan oleh sampah lautan, yang umumnya berbentuk plastik keras.
Plastik yang tertelan, kata dia, bisa merusak organ dalam paus. Hal ini menyebabkan paus tidak bisa makan, dan bisa membuatnya kelaparan dan mati dan terdampar.
"Bayangkan, ada paus berukuran 10 meter yang mati, dan ditemukan di dalamnya sebanyak 8 kilogram plastik," ungkapnya.
Menurutnya, kejadian ini perlu mendapatkan perhatian serius karena paus merupakan spesies yang dilindungi. Karena itu, ia mendorong adanya koordinasi antarpemangku kepentingan terkait, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, dalam penanganan kasus paus terdampar.
Dia juga mengimbau masyarakat untuk tidak mengganggu atau menaiki tubuh paus yang terdampar. Pasalnya, hewan ini dalam kondisi lemah dan perlu penanganan yang tepat.
Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Achmad Sahri, mendorong kepada seluruh pemangku kepentingan terkait untuk memahami pola sebaran spasial dan temporal dari kejadian mamalia laut terdampar di Indonesia. Upaya itu dapat mendukung upaya penyelamatan biota tersebut.
Sahri bersama tim peneliti telah melakukan riset terkait ekologi paus dan kejadian terdampar guna memahami lebih jauh tentang tingkah laku biota ini dan mencegah terulangnya kejadian serupa.
"Selama periode 1995-2021, setidaknya 26 spesies paus dan lumba-lumba yang terdampar di perairan Indonesia. Satu dari enam spesies yang paling sering terdampar adalah paus pemandu sirip pendek yang juga terdampar di perairan Alor NTT beberapa pekan lalu," paparnya.
Sahri menilai informasi tersebut sangat penting bagi penanganan kejadian terdampar. Hal itu terutama berguna untuk pengalokasian personil atau kemungkinan mendatangkan alat berat.
Ia juga mengimbau agar masyarakat di sekitar pesisir melaporkan kejadian serupa kepada pihak berwenang dan tidak melakukan tindakan yang bisa membahayakan paus.