Peneliti Temukan Kehadiran Paus Pembunuh di Bagan Apung Kaimana
Sembilan peneliti yang tergabung dalam kelompok penelitian yang dipimpin Konservasi Indonesia dan Conservation International menemukan kemunculan paus pembunuh (Orcinus Orca) di wilayah perairan Kaimana, Papua Barat.
Penelitian mengenai keterikatan antara kelompok cetacea (mamalia laut) dengan perikanan bagan apung (lift net) di Kaimana ini dilakukan pada periode Mei 2021 hingga Maret 2023. Penelitian ini mencatat keberadaan, jumlah, dan pola makan cetacea.
"Kami mengidentifikasi ada lima spesies cetacea di wilayah perairan Kaimana, termasuk temuan baru adanya paus pembunuh," kata Iqbal Herwata, Focal Species Conservation Program Konservasi Indonesia, dalam keterangan tertulis, Selasa (14/1).
Penelitian ini juga menunjukkan lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik memiliki keterkaitan kuat dengan perikanan bagan. Mereka sering memakan ikan teri yang berada di luar jaring bagan pada pagi hari.
Spesies lainnya terlihat lebih jarang. Hal ini disebabkan oleh preferensi kuat spesies tersebut terhadap habitat pesisir yang beririsan dengan area operasi perikanan bagan di Kaimana.
Para peneliti mengidentifikasi lumba-lumba bungkuk Australia, paus Bryde, dan lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik tercatat hadir sepanjang tahun. "Hal ini menunjukkan mereka adalah penghuni tetap di wilayah ini," kata Iqbal.
Dari lima spesies tersebut, paus pembunuh merupakan catatan baru yang sebelumnya tidak dilaporkan keberadaannya di wilayah Kaimana. Di perairan tropis seperti Indonesia, keberadaan paus pembunuh terbilang rendah, mungkin hanya 0,10 individu per 100 km persegi karena terbatasnya peluang mencari makan dan ancaman dari aktivitas manusia. Karena itu, spesies ini jarang ditemukan di Indonesia, termasuk di habitat penting mamalia laut Kaimana.
Spesies yang Ditemukan Terancam Punah
Spesies-spesies itu telah masuk ke dalam kategori Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN (International Union for Conservation of Nature). Selama kurun waktu penelitian, spesies yang paling sering terlihat adalah lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik.
Kemunculannya mencapai 130 kali yang mencakup 49,62% dari seluruh pengamatan cetacea, serta 2.612 individu yang tercatat atau 72,96% dari total individu yang diamati. Namun, studi ini tidak menggunakan metode identifikasi fotografi sehingga studi lebih lanjut diperlukan untuk mengestimasi populasi lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik agar lebih akurat.
“Dalam penelitian ini kami melakukan pengamatan dari pagi hingga sore hari, bertepatan dengan waktu operasi bagan," ujar Yance Malaiholo, Tim Lapangan Konservasi Indonesia.
Ketika hasil tangkapan melimpah, beberapa jaring dibiarkan tetap terendam, dan menarik perhatian cetacea serta hiu paus. Selama penelitian, lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik juga menjadi spesies yang paling sering terlihat. Terutama, di depan Kota Kaimana, dibandingkan wilayah lain seperti Teluk Bicari, Namatota, atau Teluk Triton.
Iqbal mengatakan penelitian kali ini mengungkap Kaimana tidak hanya penting sebagai wilayah agregasi dan aktivitas makan cetacea. Kaimana juga berpotensi memenuhi kriteria tambahan Important Marine Mammals Area (IMMA).
Vice President Marine Program Conservation International Mark Erdmann menyatakan penelitian ini merupakan studi pertama di Asia yang menggunakan bagan sebagai platform untuk pengamatan cetacea. Tujuannya, untuk memberikan wawasan tentang keragaman spesies cetacea, perilaku makan, variasi pengamatan, dan frekuensi kemunculan.
Pengamatan Terbatas
Dia menyebut, para peneliti menyadari dengan mengandalkan bagan sebagai platform pengamatan dapat menyebabkan bias dalam beberapa aspek ekologi cetacea yang dibahas dalam penelitian ini.
“Misalnya, keragaman spesies yang mungkin kurang terwakili karena pengamatan terbatas pada lokasi tempat perikanan bagan beroperasi, yang sebagian besar berada di wilayah pesisir, sehingga berpotensi melupakan spesies yang tinggal di laut dalam," kata Erdmann.
Selain itu, kondisi cuaca buruk yang membatasi aktivitas perikanan juga membatasi upaya survei, yang mengakibatkan pemahaman yang belum lengkap tentang pola waktu keberadaan cetacea. Karena itu, pola-pola ini harus diinterpretasikan secara spesifik sebagai interaksi cetacea dengan bagan.
Iqbal menilai, pemerintah provinsi Papua Barat perlu memastikan langkah-langkah pengelolaan perikanan di kawasan tersebut. Hal ini mengingat sebagian besar interaksi antara perikanan bagan dan cetacea ini terjadi di luar Kawasan Konservasi Perairan (Marine Protected Area) Kaimana.
“Pemerintah lokal harus dapat memastikan keberlanjutan stok ikan teri, yang tidak hanya penting bagi masyarakat dan industri perikanan tangkap, tetapi juga sebagai sumber makanan bagi populasi paus Bryde, lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik, dan lumba-lumba bungkuk Australia," ujar Iqbal.
Saat ini, informasi tentang penilaian stok ikan teri di Kaimana sangat terbatas. Konservasi Indonesia merekomendasikan pemerintah daerah melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penilaian stok ikan teri. Penelitian ini akan menjadi dasar untuk langkah-langkah pengelolaan perikanan di Kaimana.