Forest Watch Ungkap Sederet Catatan Buruk UU Kehutanan yang Perlu Direvisi

Ringkasan
- TPST Bantargebang mengolah sampah menjadi RDF ( *refuse-derived fuel*) yang digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Bahan bakar tersebut telah diserap oleh pabrik semen dan digunakan untuk pembangkit listrik.
- Sistem RDF di TPST Bantargebang dinilai lebih maju oleh Menko Zulkifli Hasan dan mampu mengirim sampah ke pabrik hingga 2000 ton/hari. Sampah juga dipakai sebagai bahan baku PLTSa Bantargebang dengan kapasitas 400 kWh.
- Pemerintah sedang mengupayakan percepatan pembangunan PLTSa dengan menggabungkan tiga Perpres menjadi satu aturan. Aturan baru ini diharapkan dapat menyederhanakan perizinan pembangunan PLTSa.

Forest Watch Indonesia (FWI) menilai Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sudah seharusnya direvisi karena sudah tidak sesuai dengan kondisi yang ada saat ini. Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga mengatakan revisi UU Kehutanan perlu dilakukan di tengah banyaknya gugatan akan peraturan tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK).
MK telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU Kehutanan, terutama terkait hak masyarakat adat, legalitas kawasan hutan, dan perlindungan terhadap masyarakat yang bergantung pada hutan.
“Sudah sewajarnya UU ini harus segera direvisi,” ujar Anggi dalam diskusi “Menavigasi Undang-Undang Kehutanan” di Jakarta, Selasa (18/3).
Anggi mengatakan ketidaksesuaian dengan kondisi dan tantangan kehutanan saat ini, termasuk dampak perubahan iklim, deforestasi, degradasi hutan, dan meningkatnya konflik agrarian juga menjadi catatan terkait UU 41 Tahun 1999.
Selain itu, belum maksimalnya perlindungan terhadap masyarakat adat dan lokal sering kali kesulitan memperoleh pengakuan atas hak mereka di dalam dan sekitar hutan, bahkan mengalami kriminalisasi.
“Itu menjadi catatan buruk yang harus dicarikan solusi dalam UU yang baru. Putusan MK 35 Tahun 2012 harus menjadi pertimbangan dalam UU Kehutanan yang baru,” ucapnya.
Anggi mengatakan, saat ini tata kelola kehutanan di Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam perizinan dan pengawasan pengelolaan hutan.
Sayangnya, penegakan hukum dalam UU Kehutanan masih lemah, dengan illegal logging, perambahan hutan, dan pembakaran lahan terus terjadi akibat sanksi yang tidak cukup tegas.
Regulasi yang lemah memungkinkan eksploitasi sumber daya hutan yang tidak berkelanjutan, termasuk ekspansi perkebunan dan pertambangan skala besar, serta minimnya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.