Membangun Arah Baru Ekonomi: Menakar Peluang Sosio-Bioekonomi di Indonesia

Sahistya Dhanesworo
26 November 2025, 10:34
COP 30_Day 5_Sesi CLUA
Katadata
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Praktik ekonomi ekstraktif dinilai makin tidak menjawab kebutuhan sosial maupun ekologis. Model pembangunan berbasis batubara, nikel, hingga perkebunan skala besar atau yang selama ini menjadi tumpuan, dianggap gagal meredam ketimpangan dan justru memperburuk kondisi lingkungan.

Menurut Direktur Studi Sosio-Bioekonomi CELIOS, Fiorentina Refani, urgensi untuk beralih ke socso-bioekonomi makin kuat. “Pola ekonomi ekstraktif gagal menurunkan ketimpangan sosial dan memperparah persoalan ekologi. Kita perlu mencari antitesisnya melalui sosio-bioekonomi,” ujar Fio saat ditemui Katadata Green di COP 30 (18/11).

Secara definisi, konsep sosio-bioekonomi adalah pendekatan yang mengintegrasikan aspek sosial dan ekologis dalam aktivitas ekonomi. Pendekatan ini berfokus pada bagaimana aktivitas ekonomi berbasis biologi, seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan, dapat memberikan manfaat ekonomi sekaligus memenuhi kebutuhan sosial dan menjaga kelestarian alam.

CELIOS melihat bahwa Indonesia memiliki modal untuk menerapkan konsep sosio-bioekonomi. Hal tersebut karena praktik sosio-bioekonomi sendiri sejatinya sudah lama eksis selama bergenerasi oleh masyarakat adat dan komunitas lokal di Indonesia.

“Tantangannya hanya bagaimana menaikkan skalanya – membuat praktik-praktik baik yang terserpih atau scattered itu akhirnya terintegrasi dan punya pasar,” terang Fio.

Namun demikian, agenda besar yang perlu segera diselesaikan adalah kepastian hak tanah bagi masyarakat adat. Salah satu PR ketika bicara sosio bioekonomi, menurut Fio adalah bagaimana mengembalikan kedaulatan ekonomi ke tingkat tapak.

“Pengesahan RUU Masyarakat Adat bisa menjadi solusi untuk memproteksi hak tenurial mereka,” katanya.

Tata Kelola Belum Memadai

Indonesia sejatinya telah memiliki dokumen Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP) sejak tahun 2003 dan telah diperbarui dalam proyeksi 2025-2045. Dokumen tersebut menempatkan keanekaragaman hayati sebagai pilar strategis dan sumber pertumbuhan ekonomi baru pada tahun 2045.

Namun demikian, pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan untuk membuka jalan implementasi sosio-bioekonomi di Indonesia adalah reformasi tata kelola baik di tingkat lokal maupun nasional.

Kajian CELIOS memetakan bahwa 80% kebijakan di tingkat nasional dan lokal masih belum memadai untuk implementasi sosio-bioekonomi di Indonesia. Jadi perlu ada reformasi tata kelola termasuk salah satunya reformasi aspek finansial. Sehingga, kampanye “tax the rich” relevan dengan upaya untuk mendorong penerapan sosio-bioekonomi di Indonesia.

“Kami memetakan 56 persen dari 50 orang terkaya di Indonesia, kekayaannya itu terintegrasi dengan bisnis ekstraktif. Ada batubara, perkebunan sawit (atau) nikel. Jadi kita menuntut mereka dengan prinsip polluters pay untuk membayar kerusakan ekologis yang sudah mereka sebabkan sambil menahan kerusakan-kerusakan yang lain,” imbuhnya.

Polluters pay sendiri hanya salah satu dari sejumlah skema untuk membiayai penerapan sosio-bioekonomi.

CELIOS dalam laporannya mengungkapkan setidaknya ada sepuluh skema yang dapat diterapkan untuk menghimpun pembiayaan guna menerapkan konsep sosio-bioekonomi, termasuk diantaranya; TFFF, Lost and Damage, sukuk/obligasi hijau, pajak karbon, pajak batubara, pengembalian aset korupsi untuk perbaikan lingkungan, dan alokasi sebagian kecil Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk bisnis rumahan dan wirausaha perempuan.

Berdasarkan proyeksi CELIOS, potensi dana terhimpun dari implementasi skema tersebut mencapai lebih dari Rp1.500 triliun atau Rp1,5 kuadriliun.

Masyarakat Adat Punya Peran Krusial

Sejalan dengan pandangan CELIOS, Prof. Danilo Fernandes dari Núcleo de Altos Estudos Amazônicos (NAEA/UFPA), Brasil, menyinggung peran masyarakat adat dalam praktik sosio-bioekonomi.

Hal itu disampaikan dalam sesi diskusi bertajuk From Public Policy to Territory: How the Sociobioeconomy Takes Shape Across Regions pada hari ke-5 COP 30.

COP 30_Prof. Danilo Fernandes dari NAEA/UFPA Brasil
 

Dalam paparannya, Danilo mengatakan bahwa masyarakat adat, perempuan, dan kelompok rentan selama ini lebih sering dijadikan token dalam kebijakan ekonomi dan kehadiran sosio-bioekonomi mengembalikan kedudukan mereka sebagai aktor utama.

Lebih lanjut, Danilo menegaskan bahwa prasyarat penting dari sosio-bioekonomi adalah pengakuan dan perlindungan hak tenurial komunitas adat agar mereka dapat berproduksi di wilayah mereka sendiri tanpa ancaman perampasan ruang hidup. Namun, keberhasilan agenda ini sangat ditentukan oleh lanskap politik, sebab kebijakan negara akan langsung berdampak pada kapasitas komunitas dalam mempertahankan tanah dan sumber daya.

Dalam konteks global, ia juga menyoroti bagaimana geopolitik menempatkan negara-negara di Global South sebagai pemasok material mentah tanpa nilai tambah, sehingga risiko eksploitasi yang sama dapat berulang jika sosio-bioekonomi tidak diorientasikan pada keadilan ekonomi dan distribusi manfaat.

 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...