Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Capaian Indonesia di COP30

Image title
26 November 2025, 18:01
Koalisi JustCOP
JustCOP
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) mengkritik delegasi Indonesia yang dinilai tampil pasif dalam perhelatan COP30 di Brasil.

Country Director Greenpeace untuk Indonesia, Leonard Simanjuntak menilai delegasi Indonesia tidak menunjukkan peran diplomasi yang kuat, serta gagal mendorong komitmen ambisius untuk keluar dari energi fosil dan menghentikan deforestasi. 

“Namun di Belem, Indonesia yang seharusnya bisa menjadi pemain utama, sayangnya memilih untuk menjadi penonton,” kata Leonard dikutip dari pernyataan resmi, Rabu (26/11). 

Direktur Eksekutif Auriga Nusantara Timer Manurung menambahkan, Indonesia hanya mengekor dari belakang dan tidak menggunakan kesempatan untuk bisa lebih memimpin, mendukung penghentian penggunaan energi fosil dan menghentikan deforestasi. 

“Saya tidak melihat peran signifikan diplomasi Indonesia. Indonesia hanya di sana karena negara kita menjadi pemilik hutan tropis terbesar ketiga, bukan karena kinerja atau pun diplomasinya,” katanya. 

Direktur Sosio-Bioeconomy CELIOS, Fiorentina Refani, menilai posisi Indonesia dalam COP30 justru bertolak belakang dengan urgensi krisis iklim yang menuntut untuk segera beranjak dari ketergantungan terhadap energi fosil. 

“Penetapan Indonesia sebagai Fossil of the Day karena membawa delegasi dan pelobi fosil terbanyak menjadi tamparan dan bukti bahwa komitmen Indonesia terhadap transisi energi masih jauh dari memadai,” ujarnya.

Dalam COP30, kata Fiorentina, Indonesia justru menjadikan COP30 sebagai arena untuk berjualan karbon melalui sesi seller meet buyer setiap hari dan target transaksi hingga Rp16 triliun.  Fio menilai dorongan agresif ini berpotensi jadi beban fiskal karena mengharuskan sistem monitoring, pelaporan, dan verifikasi yang mahal. Selain itu juga hingga kini belum ada perlindungan hak tenurial masyarakat adat. 

"Tanpa pengesahan RUU Masyarakat Adat yang melindungi hak teritorial mereka, carbon market hanya akan mengeksploitasi wilayah adat yang menjadi penyangga utama penyerap karbon,” sambungnya.

Senada, Deputi I Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Urusan Organisasi, Eustobio Rero Renggi mengatakan, COP30 menghasilkan keputusan penting yang mengakomodir hak kolektif Masyarakat Adat di dalam dokumen Program Transisi yang Adil, atau Just Transition Work Programme. 

Dokumen resmi tersebut menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak Masyarakat Adat, termasuk penerapan Free Prior and Informed Consent atau FPIC, hak atas penentuan nasib sendiri dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat yang hidup mengisolasi diri secara sukarela/ sadar (voluntary isolation). 

COP30 Tak Hasilkan Komitmen Iklim Konkret

Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Nadia Hadad, menyayangkan bahwa COP30 tidak menghasilkan rencana konkret yang memadai untuk menjawab urgensi krisis iklim.  Ia menilai target pengurangan emisi masih terlalu lemah, mekanisme pendanaan belum jelas, dan komitmen sejumlah negara besar pun tidak menunjukkan kemajuan berarti. 

Meskipun ada klaim pendanaan adaptasi akan ditingkatkan hingga tiga kali lipat, Nadia menegaskan bahwa detail implementasinya tetap belum dipaparkan dengan transparan. 

“Belum ada rencana yang konkret. siapa yang akan membayar juga belum jelas. Sehingga seharusnya ada roadmap sesudah itu,” katanya.

Secara umum Leonard menyinggung COP30 yang tidak menghasilkan komitmen konkrit untuk mencapai ambisi menekan pemanasan global tak lebih dari 1,5 derajat Celcius dibandingkan periode pra-industri.  Laporan Greenpeace terakhir menunjukan, ada peningkatan emisi gas rumah kaca yang menjadi sumber pemanasan global di beberapa negara, termasuk di Indonesia akibat deforestasi. 

“COP30 tak membuahkan hasil yang diharapkan,” katanya.  

Menurut Leonard, COP30 tidak menghasilkan peta jalan yang nyata untuk mengakhiri penggunaan energi fosil (transitioning away from fossil fuel roadmap) dan menghentikan deforestasi (halting and reverse deforestation roadmap), serta peningkatan pendanaan untuk aksi iklim. 

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol mengatakan Indonesia datang ke COP30 bukan untuk sekadar menyampaikan janji, melainkan membawa arah kebijakan yang tegas dan dapat dilaksanakan.

“Integritas iklim harus berjalan beriringan dengan keadilan. Aturan global tidak boleh hanya ambisius di atas kertas—tetapi harus realistis dan bisa dijalankan negara berkembang. Kalau tidak, dunia justru menjauh dari target 1,5°C,” katanya.

Hanif menyebut di COP30 Indonesia mengingatkan bahwa implementasi Perjanjian Paris membutuhkan dukungan internasional yang nyata, bukan simbolis.

“Implementasi tanpa dukungan nyata adalah retorika. Kami menuntut pendanaan hibah, transfer teknologi, dan mekanisme adil agar negara berkembang bisa mengubah komitmen menjadi aksi lapangan,” katanya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Nuzulia Nur Rahmah

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...